"Buat lu. Moga aja ukurannya pas. Gue sempet nanya ke Hesti soal ukuran pakaian lu, untung dia tau."
Ayu terkejut pagi itu. Surya tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu dan menyerahkan paket berupa gaun brokat berwarna krem padanya saat ia sedang membersihkan ruang interogasi. Seingatnya, warnanya persis dengan celana yang tiga hari lalu dibahasnya bersama pria itu.
"Eh, Bapak ini beliin buat saya?" Pertanyaan yang bodoh sebenarnya, tetapi Ayu ingin benar-benar memastikan bahwa itu sungguhan untuknya.
"Lu budeg apa gimana, sih? Iya, buat lu. Pan kita ada acara bareng akhir minggu ini." Surya menggeleng. "Coba lu pake dulu. Gue mau mastiin itu beneran ukuran lu."
Ayu lalu membuka paket itu lalu membentangkannya. Itu gaun yang manis, jika boleh jujur. Tidak berlengan dan panjangnya hingga di atas lutut. Tidak begitu banyak ornamen, hanya warna brokat yang berada di bagian tubuh atas lebih pucat daripada bagian perut ke bawah. Dan ada pemisah berupa tali yang terlihat seperti ikat pinggang.
Dia memakainya di luar kemeja merah jambu miliknya. Meskipun sedikit aneh, karena kemeja itu sama sekali tidak cocok dengan gaunnya, ditambah dia juga memakai celana pensil berwarna hitam, tetapi Surya bisa memastikan kalau gaun itu sesuai untuk Ayu. Buktinya, perempuan itu memakainya sembari memutar badannya dengan riang agar bagian tulle itu mengembang seperti rok balerina.
"Sempit?" tanya Surya ketika Ayu berusaha bernapas dengan baik seusai berputar.
"Kedobel gini soalnya, gerah. Haha." Ayu tertawa kecil. "Tapi, pas, kok. Enggak kekecilan buat saya. Gaunnya juga lucu gini."
Surya mengalihkan pandangannya dengan agak malu. "Bagus kalau lu suka."
"Oke, bilang ke saya ini harganya berapa."
"Ck, udah gue bilang, kan?"
"Pak Surya, jangan gitu."
"Ayu, kalau gue bilang enggak usah artinya enggak usah."
"Cieee!"
Suara itu langsung menyadarkan mereka. Dari kaca di luar, tampak Wendi, Kiky, Hesti, dan Andhika tersenyum sembari berjingkrakan.
"Ngapain lu pada di situ!" Surya langsung berkacak pinggang pada mereka berempat.
"Lagi nonton drama, nih. Manis banget." Andhika menyahuti. Seperti biasa, dia yang paling usil.
Surya sudah bisa menebaknya. Mereka memang yang paling sering menjahilinya di saat-saat seperti ini. Meski begitu, diam-diam dia juga menyukai suasana itu.
Pria itu lantas melirik Ayu. Perempuan itu tadinya tergelak saat mengetahui keempat sahabat baiknya mengintip dari kaca luar. Namun tidak lama, karena dia kembali melihat gaun yang dipakainya dengan mata sendu. Surya merasa ada yang keliru, bukankah perempuan itu tadi amat senang mendapat gaunnya?
"Sana lu pergi! Ada-ada aja." Lagi-lagi Surya berseru. Gerombolan itu lalu membubarkan diri dengan senyum kecil masing-masing.
Dilihatnya perempuan berambut cokelat keemasan yang kini sudah duduk di salah satu kursi di ruang interogasi, dan karenanya dia juga ikut duduk di kursi seberang Ayu. "Kenapa, Yu?"
"Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman ngerasa ... tadinya saya berani untuk sendirian. Saya enggak ambil pusing kalau temen-temen saya nanya macem-macem. Tapi saya ada ketakutan juga. Harusnya saya enggak usah takut, kan? Toh, kita enggak bisa atur reaksi orang mau gimana. Meskipun udah mikir gitu, saya masih ragu untuk datang." Ayu tersenyum getir sembari jemarinya sesekali memainkan ujung gaunnya yang berbahan lembut itu. "Saya enggak sesukses itu. Saya udah jauh dari temen-temen saya. Kayak, dibanding mereka yang sudah mencapai hampir semuanya, saya tidak sama sekali. Bahkan sampai hari ini, saya cuman office girl. Dan saya juga belum nikah di umur yang udah enggak muda ini."
Ayu melihat Surya sekilas lalu kembali menunduk. "Aneh, sih, sebenarnya. Awalnya, saya bersyukur Pak Surya enggak ngasih kepastian sama saya. Saya jadi enggak kepengen ikut. Tapi Bapak tiba-tiba minta saran saya soal jas. Mungkin sekarang saya enggak bisa mundur."
"Wajar kalau takut. Manusiawi. Cuman, gue tahu lu enggak sendirian. Kalau ada masalah atau apa, ada kita semua di sini." Surya menjelaskan. "Oh, iya, ada satu hal yang lu harus tahu. Sering kali kekhawatiran kita itu malah enggak jadi kenyataan, Yu. Apalagi, kita enggak tahu masa depan gimana. Bisa jadi tanggapan temen-temen lu waktu ketemu lu nanti enggak seburuk itu, dan bisa jadi ada rezeki lain untuk lu yang dititipkan Tuhan ke mereka. Semisal kita enggak ke sana, jadinya malah sayang, kan? So, let's face our fears, shall we?"
Ayu memberi pandangan yang sulit diartikan pada pria itu. Tidak ada kalimat berbunga di sana, tidak ada hal-hal manis di kalimatnya. Namun, nasihat itu sangat meneduhkan hatinya. Benar-benar sesuatu yang dibutuhkan Ayu saat ini.
"Okay." Seketika senyum Ayu mengembang, seakan mengundang keberuntungan untuk hadir di hidupnya. Mungkin kebahagiaannya bukan mengenai pencapaian-pencapaian yang mewah seperti orang kebanyakan, karena hari ini saja dia sudah sangat bersyukur dikelilingi orang yang menyenangkan.
"Dan enggak usah utang budi soal gaun ini, oke?"
"Ya ampun, Pak! Jangan gitu." Ayu tidak terima. Tiba-tiba saja dia diingatkan soal gaun ini.
"Oke, kalau lu masih ngotot untuk itu, bayarannya lu harus bikinin gue kopi tiap gue minta. Enggak boleh ngeluh dan enggak boleh marah-marah. Deal?" Surya mengulurkan tangannya.
Ayu terkekeh pelan. Dia menjabat tangan pria itu dengan lembut. "Deal."
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
FanfictionSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...