Ayu berjalan-jalan di sana dengan perasaan bingung. Dia tidak tahu ini di mana, tetapi dia tahu bahwa itu masih di Jakarta dan sekitarnya. Anak-anak yang berlarian di taman itu masih memakai Bahasa Indonesia logat Betawi. Dia mengecek kantong seragamnya, ingin mengambil ponsel untuk segera memesan ojek online. Sial, ponselnya dia taruh di loker, belum sempat dibawanya!
Dengan keadaan yang kacau, Ayu berkeliling di sana, hendak bertanya pada seseorang. Tiba-tiba, seseorang menarik ujung kemejanya dengan tangannya yang kecil. Wajah anak itu sembab seperti habis menangis.
"Eh, ada apa?" Ayu berjongkok di depan anak laki-laki yang ditaksir berusia tujuh tahun itu. Si anak tidak menjawab, dia malah makin menangis keras.
"Eh, aduh!" Ayu merogoh kantung seragamnya, berharap tisu kecilnya tidak ketinggalan. Dan setelah mendapatkannya, dia mengelap air mata dan ingus anak tersebut. "Kamu kok enggak pulang? Udah sore, lho. Nanti dicari sama Mama."
"Enggak boleh pulang sebelum dapetin temen-temen," ucapnya sembari sesenggukkan.
"Emang temen-temennya pada ke mana?"
Si anak kembali mengeluarkan tangis yang keras. Ayu pusing jadinya. Belum selesai dia keluar dari kompleks perumahan itu, dia harus menghadapi anak kecil yang menangis.
"Kamu jangan nangis. Ehm, Kakak...." Ayu langsung terdiam, dirinya tidak semuda itu untuk dianggap kakak. "Tante..." juga tidak setua itu disebut tante. Astaga, perkara sebutan saja harus serumit ini!
"Bantu carikan?" tanyanya tiba-tiba. Tangisannya sudah berhenti. "Please...."
Ayu lemah dengan anak kecil. Sebagai kakak pertama, instingnya selalu ingin melindungi anak kecil. Ayu lalu mengangguk. "Iya, aku bantu cari. Jadi, jangan khawatir."
Anak itu tersenyum. Dia langsung menggandeng tangan Ayu, seolah takut kehilangan perempuan itu. "Aku tadi main petak umpet. Terus aku enggak tahu temenku ada di mana, kucari di mana-mana padahal." Anak itu kembali murung. "Apa mungkin aku ditinggal?"
"Kalau mereka udah pulang, gimana? Apa enggak sebaiknya kita pulang juga?" tanya Ayu. "Udah mau Magrib, lho, ini."
"Tapi mereka harusin aku cari mereka sampai dapet. Kalau enggak, nanti aku enggak diajak main lagi. Nanti aku diejek lagi," balas anak itu lemah. "Aku enggak mau main sama kakak-kakakku. Pada berisik. Dan aku jadi diejek di sekolah karena main masak-masakan terus sama mereka."
Ayu selintas teringat seseorang. Anak kecil ini berada di posisi yang sama dengan Surya, dipermainkan orang-orang di sekitarnya. Anak kecil ini seperti tidak memiliki kesempatan untuk membela dirinya. Apa ini hanya kebetulan saja?
"Kakaknya perempuan semua?"
"Iya! Perempuan semua. Makanya aku diejek!"
Ayu tersenyum. "Perempuan dan laki-laki, kan, sama aja."
"Enggak, lah. Mereka pada ngajak main bekel, main karet, nyolong lipstik Mama. Enggak bisa main bola, main kasti. Enggak seru!" Anak itu mendengus kesal. "Terus, kalau aku berontak, mereka laporin ke Mama. Bilang kalau aku nakal. Aku cuman enggak suka disuruh nyicip makanan aneh mereka, didandanin jelek-jelek sama mereka."
"Tapi kakak-kakak sayang sama kamu, enggak?"
Si anak langsung terdiam. Dia melihat Ayu dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia lalu menunduk. "Kalau aku diejek, mereka maju semua buat belain."
"Berarti kakak-kakak sayang kamu, kan?" tanya Ayu lembut. "Teman-temanmu yang lagi ngumpet ini, mereka bisa aja nakal sama kamu. Sengaja mau buat kamu nangis biar besok mereka ejek kamu lagi."
"Begitu, ya?"
"Iya, kalau mereka juga sayang sama kamu, kamu enggak usah cari-cari mereka sampai selama ini, kan?" jelas Ayu lagi. "Tapi, biar kamu puas, kita jelajahi lapangan ini lagi sama-sama."
Anak itu tersenyum. "Oke! Aku enggak akan lepas dari tangan Kakak!"
Mereka lalu mengelilingi tiap pohon dan semak di taman itu, dan sesuai dugaan Ayu tidak ada yang bersembunyi di sana. Setelah memastikan semua sudut sudah dijelajahi, akhirnya keduanya menyerah.
"Maaf, ya, temen-temen kamu enggak ketemu," kata Ayu.
Anak itu menggeleng. "Kakak udah bantuin, kok. Makasih banyak, ya?"
Seseorang lalu berteriak dari arah terbenamnya matahari. Ayu tidak begitu jelas melihatnya karena sosok itu membelakangi cahaya. Namun, dia langsung tahu dari suaranya. "Adek! Adek!"
"Kak Sara!" Anak itu berlari menuju sosok itu. "Kak Sara!"
Ayu langsung melotot. Tidak, pasti ini Sara yang lain, bukan Sara kakak Surya.
"Bener, ternyata kamu di sini. Kakak tadi tanya sama yang di atas pohon mangga itu, hehe. Ayo, kamu dicariin Mama, lho!" jelasnya. Ayu melirik ke arah pohon mangga, dan tidak ada siapa-siapa di sana.
"Ih, Kak Sara jangan ngomong yang serem-serem!" ucap anak kecil itu bergidik.
Dan seperti yang tadi sudah terjadi, Ayu lagi-lagi tidak ingat kejadian setelahnya. Dia membukakan matanya, dan yang tampak di depannya kini adalah rak arsip berikut meja-meja yang baru saja ditatanya.
"Kak Sara jangan ngomong yang serem-serem!" Suara Surya di lobi ruang arsip terdengar sampai telinganya. Ayu terkesiap dengan kalimat yang familiar itu. "Udah, bilang ke Kak Masayu, makasih atas bekalnya."
"Mana ada serem? Yang di ruang arsip itu jelas-jelas bilang kalau kamu akan baik-baik aja, enggak dipecat sama Irjen Supono," ucap Sara dengan yakin. "Kakak pulang dulu, ya? Salam buat Ayu."
Surya menggeleng kesal, sementara Ayu di ruang arsip masih terkejut. Jadi, tadi itu sebenarnya apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
Fiksi PenggemarSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...