Sebenarnya, tidak ada yang istimewa. Andhika sibuk melilitkan satu benang merah dari satu paku payung ke paku payung lainnya, bagaikan seorang Sherlock Holmes. Wendi masih menekuni dokumen kasus terbaru, beserta Kiky di sampingnya. Hesti mengawasi telepon yang masuk di ruang call center. Gilang yang melihat sisi atas jeruji dengan hampa. Komandan yang pusing dengan surat-surat penting yang beberapa jam lalu diserahkan Hesti. Terakhir, Surya yang mengecek kembali berkas-berkas lakalantas di ruang arsip.
Layaknya rutinitas yang lainnya, Ayu juga tidak jauh-jauh dari alat kebersihan. Terlihat debu-debu, staples, beberapa tisu, kertas-kertas kecil disapunya dengan teliti. Itu baru di ruang lobi, belum lagi nanti di ruang BAP, apalagi pantry di mana beberapa petugas sembarangan menaruh robekan bungkus kopi saset di meja dan lantai.
Hanya saja, semuanya jadi berbeda setelah ponselnya mengeluarkan bunyi. Ada telepon yang masuk rupanya. Disandarkannya sapu yang tadi digunakannya di dinding terdekat, dan jemarinya memencet tombol hijau tanda menerima panggilan. Segera ponsel itu didekatkan di telinga. "Halo?"
"Yu, apa kabar?"
Ayu tidak segera menjawab. Perempuan berambut cokelat keemasan yang kini digaya kuncir kuda setengah itu melihat lagi si pemilik kontak. Dia tidak menyimpan nomor itu, hanya saja ada foto profil di sana dan dia kenal dengan wajah di foto tersebut berikut suaranya. Ini teman sekelasnya semasa SMA. Aneh, mengapa tiba-tiba dia kembali menghubungi?
"Yu, kok diem bae ini? Apa sinyal gue yang jelek?"
"Eh, maaf. Iya, gue kabar baik. Lu gimana?" Ayu membalas dengan basa-basi. Untuk sementara, dia menutupi kecurigaannya pada kawan lama ini.
"Gue baik juga. Ini gue mau ngabarin kalo dua minggu lagi gue nikah. Acaranya di Jakarta, kok. Lu bisa dateng, kan?"
Segera tenggorokan Ayu seperti ditumbuhi duri-duri tajam. Rasanya sulit untuk menelan ludah. Jelas dia kesulitan untuk menjawab. "Duh, gimana, ya? Gue enggak janji, tapi gue usahain. Gini-gini, kalo ada info lanjutan lagi gue bakalan kabarin elu."
"Duh, kok kesannya lu kagak mau ikutan? Lu temen baik gue, Yu. Gue pengen banget lu dateng di kawinan gue. Oke, lu dari dulu enggak pernah ada niatan buat ikutan reuni, tapi please.... Untuk yang satu ini, gue pengen lu hadir."
Ayu terdiam. Di sekolah dulu, dia bukannya anak yang tidak populer. Perempuan ini bahkan sering mengikuti pensi sekolah dan jadi biduan ternama satu sekolah. Tidak ada satu pun yang tidak mengenalinya, dan mereka semua tentu berharap lebih pada kehidupan Ayu. Mereka berpikir bahwa kepopuleran perempuan itu akan terus membawanya dalam kesuksesan hingga hari ini.
Nyatanya, Ayu selalu mangkir jika ada undangan reuni SMA, bahkan undangan buka bersama SMA juga tidak pernah diikutinya. Dia tidak mau menerima berbagai pertanyaan soal hidupnya yang sekarang.
"Iya, gue pan udah bilang kalo ada apa-apa juga bakal ngabari. Gue usahain dateng. Jangan takut." Ayu berusaha menenangkan dengan sedikit berdiplomasi di dalam kalimatnya.
"Bener, ya? Lu enggak kabur, ya?"
"Enggak, ya ampun. Serius."
"Oke, deh. Cepetan kabari gue."
Ayu menghela napas. Namun ditahannya sebentar agar temannya itu tidak menangkap maksud keberatannya. "Iya, makasih banyak, ya? Moga dilancarkan sampai hari-H. Pokoknya yang terbaik buat lu, dah."
"Sama-sama. Aamiin, makasih atas doanya."
Telepon pun akhirnya mati. Ayu lantas memandang hampa pada ponselnya. Ya, sebenarnya tidak jadi masalah dia seorang diri datang ke pesta pernikahan itu. Dia sudah dewasa, sudah bisa melawan tanggapan sinis dari teman-temannya kelak soal statusnya yang masih belum memiliki pasangan hidup. Lagi pula, ini sudah tahun 2022. Amat ketinggalan zaman orang-orang yang masih mempermasalahkan kehadiran jomlo di pesta pernikahan.
Namun, di dalam dirinya, Ayu rapuh. Dia kembali berkaca pada kenyataan. Sudahlah bekerja sebagai office girl, masih single pula. Reaksi tidak mengenakkan dari teman-temannya jelas terpatri di pikiran Ayu ketika dia benar-benar memaksakan diri untuk hadir.
Di saat yang sama, Wendi melewatinya. Dia dapat melihat raut Ayu yang cemas. Instingnya sebagai seorang kakak yang selalu peduli pada adiknya mengatakan jika ada yang tidak beres. "Ada apa, Yu?"
"Oh, enggak, Pak Wendi. Ini teman saya mau nikahan dua minggu lagi, ngundang saya gitu. Cuman gimana, ya?"
"Kenapa? Lu takut dateng kondangan sendirian?" tebak pria berkepala plontos itu.
Ayu tertegun. Rasanya, dinding di kantor ini memiliki telinga tajam hingga mengerti keresahan hatinya. Mustahil memang untuk dapat menyembunyikan semua hal di sini, apalagi di depan seseorang yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri ini.
"Eng, ya gitulah. Udah enggak apa, Pak, saya bisa pikirin sendiri jalan keluarnya gimana."
Wendi menggeleng. "Kalau jalan keluarnya adalah elu menghindari itu, menurut gue itu solusi yang jelek. Biar gimana, itu temen lu. Dia anggep elu orang yang istimewa, makanya dia mau lu dateng."
"Wendi bener." Entah bagaimana, Surya sudah ikut nimbrung dengan mereka.
"Ngagetin aja lu. Tiba-tiba nyaut." Wendi menepuk pelan bahu pria berompi hijau neon itu.
"Hehehe." Surya hanya bisa tertawa kecil. "Kalau lu enggak mau mati kutu karena dateng sendirian, nih, gue cariin artikel soal tips dateng ke kondangan sendirian. Gue kirim link-nya ke WhatsApp lu."
"Aneh. Ayu, kan, bisa nyari sendiri." Wendi mengernyitkan dahi. "Lagian, jangan mau, deh, Yu. Bisa jadi itu artikel terusan dari grup keluarga besar."
Tawa Ayu meledak. Sementara Surya kembali terkekeh pelan.
"Atau, semisal emang elu keberatan dateng sendirian, lu bisa minta tolong anak-anak sini buat nemenin," usul Wendi. "Minta tolong ke Surya, misalnya."
Keduanya kaget. Namun yang lebih tampak adalah Surya. Sementara Ayu langsung berpikiran jauh jika mereka benar-benar di sana. Dan entah mengapa dia merasa bahwa itu juga bukan solusi yang baik. Teman-teman Ayu pasti akan memberondongi pria itu dengan pertanyaan seputar status mereka di sana. Sungguh, Ayu tidak ingin membuat repot pria itu lagi.
"Kenapa harus gue, sih, Wen?" tanya Surya.
"Ya, gimana? Kiky sepaket sama gue, Hesti sepaket sama Andhika. Ya kali Ayu berangkat sama Gilang?" ujar Wendi.
"Sepaket sepaket, kayak nasi ayam lu sepaket!" Surya langsung kesal.
"Denger, ya. Elu juga enggak yang menderita amat. Lu bisa dapet bakso sama siomay di situ," balas Wendi. Tidak lama, pria berkepala plontos itu tertawa. "Yu, bentar. Ini pestanya temen sekolah lu?"
"Iya, Pak Wendi. Teman SMA," jawab Ayu. "Emang kenapa?"
Mendengar jawaban Ayu, Surya langsung paham arah pembicaraan ini akan ke mana. Namun, dia masih dalam posisi tenang. Sementara itu, Wendi tersenyum geli melihat temannya itu. Dia tahu bahwa Surya mulai menangkap maksudnya.
"Masih kagak paham, Yu? Gini, lu bisa minta tolong seseorang yang lu kenal baik di SMA lu. Itu, yang beberapa hari lalu ke sini," jelas Wendi penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
FanficSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...