"Ngapain terancam? Enggak, lah." Ayu mulai mencomot roti bakarnya dan memakannya perlahan. Tidak lama, suasana kembali hening seiring dengan ia menggigiti roti itu. Pun Surya sudah sibuk menyeruput pelan kopinya yang masih panas tersebut. Sebenarnya, pria itu mengutuk Andhika yang terlalu lama bertelepon ria dengan Hesti sampai dirinya terjebak seperti ini. Ini udah kagak ngebantuin lagi, batinnya.
Ah, ya, kalau saja pria berkacamata itu cepat kembali, mungkin bisa menyelamatkannya dari keheningan yang mengganggu ini. Dia bahkan tidak keberatan jika pria itu tiba-tiba datang sembari menyanyi "Pelangi di Matamu" dengan menekankan pada lirik "jam dinding pun tertawa, karena ku hanya diam dan membisu" padanya, atau bercelatuk "Diem-diem aja, nih, Bang?" sambil meringis riang. Setidaknya, keadaannya tidak akan seperti ini.
Ayu tiba-tiba menghela napas, dan hal itu tidak luput dari perhatian Surya. Pria itu terkekeh. "Lu kenapa? Kayak berat banget beban lu ke sini. Apa kurang cocok sama makanannya?"
Mata perempuan itu terangkat pada Surya. Dia menggeleng. "Enggak, kok. Makanan Singapura enak-enak aja bagi saya."
"Baguslah." Giliran Surya yang menggigit roti bakarnya. "Tadinya gue kira srikaya, tuh, selai dari buah. Ternyata bukan."
"Oh, iya? Bukan dari buah nona?" tanya Ayu benar-benar polos. Dia lalu memperhatikan roti bakarnya. "Lalu dari mana, Pak?"
Surya tersenyum kecil. Ayu yang dia rindukan kembali seperti biasanya, suka bertanya seperti anak kecil. Rindu? Astaga, apa yang sudah dipikirkannya? Ya, setidaknya pembicaraan yang sekarang tidak terputus seperti sebelumnya.
"Yang gue tahu, selai ini dibuat dari telur, santen, sama dikasih pandan," jawab Surya.
"Oh, pantesan ada rasa gurihnya. Itu dari si santen itu, ya, Pak?"
"Iya, bener."
Ayu mengangguk dengan antusias. "Tapi enak, Pak. Lain dari selai yang biasanya kita makan di Indonesia. Kalau di Indonesia, kan, kalau enggak selai stroberi, ya, pake meses. Atau kalau orang-orang kaya pakenya selai cokelat kacang yang mahal itu."
"Atau make susu kental manis. Dipakenya agak banyak sampe kadang luber ke samping." Surya terkekeh. "Pernah enggak lu ngalamin rotinya agak bolong gitu? Jadinya susunya netes dari situ."
"Hahaha! Iya, pernah. Itu kalau roti tawarnya yang murah pasti begitu, tuh. Teksturnya kasar, enggak kayak roti-roti mahal. Pinggirannya juga pahit, kayak agak gosong gitu" Ayu ikut tertawa. "Ngomong-ngomong soal susu kental manis kaleng, Bapak pernah ngalamin niup bolongan di kalengnya pas udah mau habis?"
"Pernah. Pasti bolongannya ada dua, kan? Satu buat tempat dia keluar, satunya lagi itu buat kita niup-niup gitu, hahahaha!" jawab Surya yang masih tergelak karena mengingat masa kecil.
"Emang jaman dulu seru-seru, ya, Pak? Jadi lucu kalau diingat sekarang," ujar Ayu lagi.
"Iya, bener." Surya menanggapinya. Namun, sedetik kemudian ia mulai takut akan kembali hening. Memang Ayu sudah dipancingnya untuk kembali ceria, tetapi niatnya untuk meminta maaf masih belum bisa dilakukan. Meski begitu, dia tetap harus meminta maaf soal Sibad.
"Yu, gue mau minta maaf soal gue ngomelin elu waktu itu." Akhirnya meluncur juga kalimat tersebut. Kalimat yang sudah ditahannya sejak jauh-jauh hari.
Senyum Ayu mulai memudar. Dia lalu terdiam. Sejak awal, dia sedikit menjaga jarak dengan Surya, itu juga karena dia masih bingung dengan ucapan Sibad kala itu. Sampai sekarang, dia juga tidak berani menanyakannya secara langsung, tetapi yang terjadi hari ini sudah cukup memberinya kepastian.
Surya merasa bersalah karena sudah mengomelinya, merasa mereka jadi terpisah. Terlebih sejak tadi, Surya berusaha mencairkan suasana di antara keduanya. Pria berambut hitam lebat itu lebih banyak bertanya dan bercerita. Justru Ayu yang jadi tak enak hati karenanya.
"Bapak enggak salah. Waktu itu saya memang terlalu emosional. Saya yang malah jahat karena tiba-tiba enggak tegur sapa ke Bapak lagi sejak itu." Ayu akhirnya menjawab. Dan kalau boleh jujur, perihal dia menjaga jarak juga bukan karena sakit hati setelah Surya mengomelinya. Ini karena keusilan Sibad.
"Ehm, berarti kita baikan, kan?" tanya Surya.
"Ya, sejak awal juga kita baikan, kok." Sangat baik bahkan, tambah Ayu di hatinya. Dia lalu tersenyum, senyum yang membuat hati Surya hangat.
Andhika lalu kembali dengan wajah semringah setelah setengah jam meninggalkan kedua orang tersebut. Sebenarnya pria itu sejak tadi melihat keduanya dari kejauhan. Dan supaya tampak meyakinkan, dia mengaku sehabis dari toilet setelah menelepon Hesti di Indonesia.
"Kita ke hotelnya Siti KDI buat persiapan konser. Agak sore nanti, kita ke venue-nya di Clarke Quay," jelas Andhika memberi tahu keduanya.
Ayu lalu mengangguk. Benar, Singapura memberinya jawaban. Tidak ada lagi keraguan yang tersisa di benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
FanfictionSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...