Surya menunggu di kursi kerjanya dengan lesu. Ini siang yang melelahkan, sungguh. Untunglah tinggal tersisa dua dokumen lagi. Rencananya, dia akan kembali begadang hari ini untuk menuntaskan semuanya.
Dia terlalu memaksakan diri memang. Namun, itu dilakukannya sebagai penebusan dosa karena sudah liburan dua minggu lamanya di Amerika Serikat. Itu juga agar dia masih memiliki muka di depan Andhika dan Wendi yang selalu direpotkannya selama ini. Ditambah, kedua koleganya ini sedang menjauh karena ia sering bersikap jemawa di depan mereka. Untuk poin terakhir, Surya benar-benar mengakui itu dari hatinya.
Matanya segera menangkap suatu bayangan. Siapa lagi kalau bukan Ayu? Dilihatnya, asap perlahan mengepul dari cangkir yang dibawa Ayu. Ya, bisa dipastikan isinya masih panas.
Bersama dengan cangkir itu, perempuan berkemeja merah jambu tersebut menjelaskan, "Ini teh kamomil. Saya bawain roti marie juga, soalnya Bapak belum makan dari jam istirahat siang tadi."
Surya memandang Ayu dengan lelah. Dia bisa saja mengomel sewaktu Ayu menolak permintaannya untuk dibuatkan kopi, hanya saja perempuan itu akhirnya menyanggupi (meskipun melalui ucapan Gilang). Dan sekarang, mengapa justru lain yang dibawakannya?
"Gue, kan, mintanya kopi, Yu. Bukan teh," ucapnya lemah.
"Dengerin saya, Bapak lebih butuh teh kamomil daripada kopi," ujar Ayu pelan.
"Tapi gue masih ada kerjaan. Teh kamomil, kan, bikin ngantuk." Surya menanggapi lagi. "Tolong, ya, manut sekali aja."
Ayu menggeleng dengan kuat. "Bapak udah begadang dari lama. Bapak memang butuh tidur."
"Ayu, lu bukan dokter. Jadi jangan ngelarang gue buat minum apa yang gue mau." Surya mulai kehilangan kesabarannya.
"Oh, apa harus jadi dokter buat peduli sama keadaan Pak Surya?"
Pertanyaan retoris Ayu itu membuat Surya terdiam. Dia lalu mengamati Ayu yang sungguh-sungguh mengkhawatirkannya. Mungkin tidak begitu terlihat dari ekspresinya, tetapi dari tindakannya sedari tadi sudah jelas jika perempuan ini peduli padanya.
"Eng, ya udah, gue minum. Nanti tapi," balasnya cepat. Sungguh, Surya tidak mau Ayu terus berdiri di sebelah mejanya. Pertama, perempuan itu akan tahu jika dia berbohong soal meminum teh itu. Kedua, debar jantungnya jadi makin tidak karuan jika si pemilik kemeja merah jambu yang ayu (persis namanya) ini berada dekat dengannya.
"Saya mau lihat Bapak minum dengan mata kepala saya sendiri."
Ya ampun! Surya mengaduh dalam hati. Dia lalu berusaha untuk berkompromi. "Beneran, Ayu. Lu, kan, masih sibuk di pantry. Gue bakalan minum nanti, janji."
"Sekarang juga bisa, kan?" balas Ayu lagi. Astaga, kalau sudah begini susah pasti.
"Oke." Surya menyesap perlahan isi dari cangkir itu. Jujur, itu teh yang sangat enak. Apalagi, dia tadi mendapati rasa madu di dalam teh tersebut. Ayu benar-benar memikirkannya. Buktinya, perempuan itu memakai madu sebagai pengganti gula, dan jelas itu lebih sehat. Karenanya, pipi Surya merona seketika.
Perempuan itu memandang laptop yang dinyalakan Surya. Dia lalu mengernyit. "Masih banyak, Pak?"
"Ha?" Surya tersadar dari kegiatan minum tehnya juga lamunannya. Diletakkannya cangkir itu dan dia mengangguk. "Ya, gitu, lah. Tapi tinggal dua dokumen lagi, sih, jadi gue mau kelarin malem ini. Tapi kayaknya gue dibius sama lu buat tidur."
Ayu lalu menarik kursi lain yang ada di sana, dia duduk di sisi meja lainnya. "Lagian, Bapak kenapa maksain diri banget, sih? Enggak sehat, lho, begadang terus. Tuh, mata Bapak udah persis panda."
"Kalau enggak gini, nanti molor lagi, Yu. Gue udah libur lama, ninggalin banyak kerjaan ke anak-anak juga. Enggak enak kalau gue males-malesan," jelas Surya.
Ayu pun menatap lembut pada Surya. "Sekarang saya tanya, Bapak bekerja itu buat apa?"
"Buat cari duit."
"Tapi kalau Bapak akhirnya nerima gaji pas lagi diopname, gimana?"
Surya memanyunkan bibirnya. "Elu, mah, sukanya doain gue yang jelek-jelek!"
"Pak, kita semua juga pengennya nikmatin upah kita, kan? Percuma kalau duitnya malah habis buat berobat." Ayu menerangkan. "Bekerja itu sebaiknya dengan senang hati, enggak terbebani. Lagian, bisa aja Pak Wendi dan Pak Dhika itu sedih lihat Bapak kayak gini. Tapi kalau ternyata mereka emang sirik sama Bapak, ya, biarin. Sejak awal, kita enggak bisa menyenangkan hati semua orang."
"Ngelakuinnya enggak segampang itu, Yu. Biar gimana, gue junior di sini." Surya tersenyum kecil. Dia lalu menyesap lagi cangkir teh tersebut. "Dan lagi, enggak salah, kan, berusaha menyenangkan hati semua orang? Meskipun pada akhirnya gagal, kan, yang penting usaha."
"Tapi Bapak malah jadi tertekan." Ayu masih bertahan dengan argumennya. "Kalau emang capek banget, mending terus terang aja, Pak Surya. Kita ini manusia, bukan robot."
Setelahnya, Surya terkekeh pelan. "Jadi gini, ya, rasanya?"
"Rasa apa?"
Surya langsung menggeleng, sadar kalau itu akan berbahaya baginya. "Lupain aja."
Sial, tadinya dia mengucapkan itu untuk dirinya sendiri. Dia baru saja berpikir jika mereka berdua menjadi sepasang kekasih, pasti Ayu akan berlaku seperti ini juga. Astaga, apa yang sudah dipikirkannya?
Cairan kuning kecokelatan yang manis itu tandas oleh Surya, berikut biskuit yang cukup mengganjal perutnya yang memang kosong itu. Hanya menunggu waktu saja untuk benar-benar mengantuk, dan benar saja tidak lama dia sudah menguap. "Yu, bisa mintain kunci UKS? Gue mau tidur bentar."
Ayu semringah. Segera dia menemui Hesti selaku pemegang kunci ruang UKS. "Bu Hesti, saya mau minta kunci UKS-nya. Pak Surya mau tidur bentar di situ."
"HAH? TERUS LU JUGA MAU DI SITU NEMENIN DIA TIDUR?" Hesti berseru sembari tertawa kencang. Meski begitu, dia tetap memberikan kunci tersebut. "Ya ampun, Bu Ayu. Kalian diem-diem udah sejauh ini!"
"Astaga, enggak gitu, Bu Hesti!" Ayu mendengus kesal sebelum pergi meninggalkan Hesti dengan pikirannya yang aneh-aneh itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
Fiksi PenggemarSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...