Just had a weird dream. But there was you, so it's ok. (tweet from Aurelia V)
***
Waktu makan malam pun tiba, dan keduanya makan di meja yang sama. Bus itu memang berhenti di sebuah rumah makan prasmanan di area Pantura, dan para pemudik sudah turun sejak tadi untuk makan dan meluruskan kaki mereka barang sejenak. Ayu sendiri sudah berhadapan dengan sop buntut dan sepiring nasi hangat. Setelah merenung sembari memperhatikan kepulan asap dari makanannya, dia merasa ini waktu yang tepat untuk bertanya pada pria berambut hitam lebat tersebut.
"Pak, ini beneran, ya, kita mudiknya?" Setelahnya, Ayu langsung memukul pelan kepalanya sendiri. Meski masih kebingungan, tetapi pertanyaannya sama sekali tidak berbobot. Dia yakin bahwa Surya akan jengkel lagi.
"Kenapa, sih, lu masih belum yakin?" Tidak disangka, Surya malah menjawab pelan. Mungkin karena sudah makan malam, jadi sudah cukup tenang untuk meladeninya.
"Ya, gimana, ya? Pak Komandan itu pelit pisan dan kantor lagi ada banyak tugas. Setahu saya, alasan tidak jadi mudik karena tugas-tugas itu," jelas Ayu. Ya, tidak mungkin ingatannya berkhianat. Benar-benar tadi pagi Surya menjelaskan padanya jika mudik tahun ini dibatalkan.
"Komandan bilang kalau itu udah jadi jatah petugas yang lain, yang liburnya sudah lebih dulu." Surya kemudian mengambil teh hangat di depannya. Diseruputnya perlahan dan dia kembali menanggapi Ayu, "Apa lu masih enggak percaya karena gue yang kasih tiket itu cuma-cuma?"
Ayu terdiam. Awalnya, dia tidak merasa itu sesuatu yang aneh. Surya orang kaya, tentu mudah untuknya membeli selembar tiket lagi. Bahkan sebenarnya dia bisa saja mudik dengan menaiki pesawat, alih-alih dengan bus sepertinya. Ayu berterima kasih dengan pria ini sejak beberapa hari lalu, bahkan kemarin juga dia melakukannya lagi tanpa berpikir macam-macam. Yang Ayu pikirkan hanyalah ini satu-satunya kesempatan berharga untuknya mengunjungi sanak saudara, apalagi sudah hampir dua tahun semua orang ketakutan untuk bepergian karena pandemi.
Namun setelah disinggung kembali, itu hal yang aneh karena mereka jarang sekali akur. Tiada hari tanpa saling mengeyel di antara keduanya. Lebih masuk akal kalau Surya memberikan tiket untuk Andhika atau Wendi daripada untuknya. Ayu lalu mengernyitkan dahi, jadi apa alasan Surya memberinya tiket mudik jatahnya tersebut?
"Kalau gitu, saya tanya ke Bapak dengan pertanyaan itu," ucap Ayu akhirnya. Entah mengapa, karena ucapan Surya tadi, Ayu jadi lupa dengan benar tidaknya kegiatan mudik ini.
"Maksudnya?"
"Ya, itu. Kenapa Bapak kasih tiket itu ke saya? Bapak tahu saya outsourcing, saya bukan petugas juga. Dan itu sebenarnya jatah buat Pak Surya."
Giliran Surya yang terdiam. Dia masih belum tahu harus menjawabnya seperti apa. Tidak mungkin kalau dijawab "terserah gue, dong". Dan makin tidak mungkin jika menjawab dengan "gue enggak mau lu sedih karena enggak bisa mudik. Lu sedih juga bikin gue sedih". Sial, mengapa dia tidak pernah memikirkan kemungkinan Ayu akan seperti ini?
"Gue mau berbuat baik sama lu, apalagi lu selama ini baik juga sama gue. Enggak masalah, kan?" Jawaban paling aman itu akhirnya keluar dengan sempurna dari seorang Surya. Setidaknya, Ayu hanya akan mengangguk paham.
Namun, sepertinya Ayu tidak puas. "Perasaan kagak ada baek-baeknya kita selama ini. Ribut mulu."
"Sesekali aja kita baikan. Entar kalau lu mau kita berantem lagi juga enggak masalah," jelas Surya. Tawa Ayu lalu pecah. Disusul kekehan dari Surya. Tidak lama, pria itu kembali bersuara, "Lagian sebenarnya gue emang enggak pengen mudik. Keluarga Pakde di Semarang paling berisik soal gue yang masih belum nikah sampai sekarang."
Ah, ya, Ayu mengerti. Sepertinya itu akan jadi momok yang mengganggu. Memang kadang itu cara mereka untuk perhatian pada anggota keluarga, tetapi kalau dibahas terus rasanya jadi menyebalkan. Ayu pun mengalaminya, dan mungkin lebih tidak mengenakkan sebab seorang perempuan lajang berusia awal 30 tahun itu sering dicibir sebagai perawan tua. Belum lagi nanti ada saja yang membandingkannya dengan sepupu jauh yang sudah menikah dan memiliki tiga orang anak.
"Masalah klasik, ya, Pak. Keluarga saya juga gitu, kok." Ayu menimpali.
"Iya, tapi setelah gue pikir-pikir, mending gue ikutan pulang aja bareng elu. Minimal kalau ditanya soal itu lagi, gue udah ada jawabannya."
Ayu lalu penasaran. "Jawabannya apa emang?"
"Si calon lagi mudik ke Surabaya, makanya belum bisa dibawa."
Ayu langsung tersedak karena teringat tujuan mudiknya ke Surabaya. Dan saat itu, tiba-tiba semua hal di depannya mengabur.
***
"Yu, bangun. Molor mulu dari tadi."
Suara itu langsung membuat Ayu membelalak. Kalimatnya sangat persis seperti di awal-awal dia terbangun di halte bus. Dia terkesiap lalu melihat sekitar dengan raut kebingungan. Lantas, dilihatnya Surya yang sudah di depannya sembari menyilangkan kedua tangan di dada. Ah, ya, rupanya dia memang masih di kantor dan mudik itu benar-benar dibatalkan.
"Ma-maaf!" Ayu lantas beranjak dari kursi tersebut dan berdiri tegap. Sedangkan Surya menggeleng.
"Ini bukan tempat buat tidur," jelas Surya lembut. "Susah banget lu dibangunin. Sampe ngimpi lu, ya? Ngimpi apaan lu?"
"Sok tahu! Saya enggak ngimpi apa-apa." Ayu langsung ketus dan meninggalkan Surya seorang diri. Kini giliran Surya yang kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
FanfictionSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...