Ayu keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terurai. Bersama Kiky dan Hesti, ketiganya menuju gazebo di mana para pria sedang berbincang di sana. Surya mengernyitkan dahi. Setahunya, Ayu izin ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan merapikan rambutnya, tetapi mengapa jepit kupu-kupu kelabu itu tidak bertengger manis di kepalanya?
Itu hal kecil yang Ayu sendiri tidak menjelaskannya, tetapi entah mengapa mengganggu Surya. Hingga mereka meninggalkan restoran tersebut, Ayu tidak membicarakannya sama sekali.
"Jepit kupu-kupu tadi enggak dipake lagi?" tanya Surya.
"Eh?" Ayu terkejut karena Surya tahu bagaimana bentuk jepitnya. "Tadi pas di wastafel enggak sengaja jatuh. Jadinya patah."
Surya menggeleng. Biasanya, dia akan mengomel panjang lebar pada Ayu agar perempuan itu lebih berhati-hati. Dan kalau itu terjadi, mereka akan debat lagi seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini dia tidak bereaksi demikian. Pria itu justru berkata dengan pelan, "Seenggaknya, lu enggak pernah membuat seseorang dalam bahaya. Cerobohnya elu masih bisa diwajarkan."
Ayu menatap lembut Surya. "Kita berhenti dulu gimana? Biar Bapak lebih tenang."
Surya menurut. Mobil itu pun menepi di salah satu kedai teh. Itu Ayu yang memintanya demikian. Dia bahkan memesankan teh lavender dingin untuk Surya. Yang dia tahu, lavender dapat menenangkan perasaan dan itu yang dibutuhkan pria ini.
"Susah buat pura-pura anggep itu bukan masalah, Ayu." Akhirnya pria itu membuka suara kembali setelah menyesap tehnya beberapa kali. "Kalau lu enggak bisa diselamatkan saat itu, terus gimana? Gue polantas, dan itu juga wilayah patroli gue. Harusnya gue bisa cegah itu. Harusnya, gue bisa lindungin elu dengan baik."
Ayu tertegun. Pria ini begitu emosional, seperti ingin menyatakan perasaan sayangnya. Astaga, tidak. Pertama, Surya tidak mungkin menyukainya mengingat mereka tidak pernah akur barang sedetik pun. Akur sesekali kalau salah satu sedang sakit, seperti sekarang ini. Kedua, dia memesan teh lavender dingin, bukannya wiski. Jadi tidak mungkin Surya dalam kondisi mabuk hingga bisa meracau seenaknya.
Ayu lalu mendapat ide. "Kalau kita nanti mampir lagi gimana, Pak? Saya mau beli jepit."
"Oh, boleh."
"Tapi Bapak yang pilihkan jepitnya untuk saya."
Surya terkejut. "Gue enggak biasa milih model aksesoris yang cocok buat cewek."
"Enggak mungkin. Kakak Bapak kan perempuan semua, pasti tahu apa jepit yang cocok buat saya." Ayu masih tidak ingin kalah.
"Ngotot banget. Oke, kalau gitu." Surya menurut.
***
Setibanya di toko aksesoris, Ayu langsung berkelana di antara gantungan dan kotak-kotak berisi aneka macam jepit rambut dengan aneka ukuran. Karena bosan, dia lalu beralih ke bagian bando-bando lucu. Surya yang melihat tingkahnya jadi menggeleng, pasti perempuan ini tidak fokus dengan apa yang ingin dibelinya. Ya, lelaki itu tidak menunggu di luar toko. Dia malah menetap di bagian jepit rambut, mencari mana yang cocok untuk Ayu.
"Lu mau yang kayak apa?" tanya Surya. Tangannya masih mencari model jepit yang sesuai untuk perempuan berambut cokelat keemasan itu.
Ayu langsung meliriknya dari pantulan cermin. Perempuan itu sedang memakai bando dengan telinga kucing berwarna hitam. "Ya, terserah Bapak. Kan saya minta Bapak yang pilihkan."
"Entar kagak cocok, gue lagi yang salah." Surya menggerutu kesal.
"Kalau saya bilang 'Bapak aja yang pilih', berarti saya percaya sama keputusan Bapak. Simpel, kan?" ujar Ayu santai. "Keinget sesuatu, enggak, sama ucapan saya tadi?"
"Sial, haha!" Surya tertawa. Dia sering mengucapkan kalimat yang serupa kalau Ayu mulai mengkhawatirkan kesehatan pencernaannya karena terlalu banyak minum kopi. Ya, kurang lebih Surya akan mengatakan, "Kalau gue mintanya kopi, berarti lu harus buatin kopi".
Tidak lama, tangannya mengambil jepit yang dirasa akan cocok untuk perempuan itu. Dengan senyum, dia menghampiri Ayu. "Gimana kalau ini?" tanya Surya saat perempuan di hadapannya itu sedang mencoba topi baret (lagi-lagi, Ayu tidak fokus dengan tujuannya).
Ayu tersenyum melihat apa yang sedang dipegang Surya. Itu jepit rambut dengan aksen beberapa mawar putih yang dibentuk dari pita satin. Sederhana, tetapi manis sekali.
"Gue pilih ini karena ada 'ros' di nama lengkap lu. Jadi, mungkin lu suka mawar. Tapi kalau enggak suka, gue bisa cari yang lain," ujar Surya.
"Saya suka, kok. Dan saya jadi makin percaya kalau Bapak sebenarnya baik sama saya," ungkap Ayu sambil meringis senang.
Ditanggapi demikian, Surya malah memalingkan wajah. "Apaan, coba? Kan elu sendiri yang minta dipilihin ini. Kok ngelantur ke masalah baik enggaknya?"
Perempuan itu tersenyum. Surya sudah kembali normal: bisa mengomel lagi.
"Bukan masalah itu. Mau saya enggak minta pun Bapak akan tetap baik sama saya. Sama seperti kejadian pembegalan itu, saya tahu Bapak enggak diam aja. Kalau Bapak memang jahat, mana mungkin Bapak bersedia terus-terusan menghubungi saya pasca kejadian itu? Bapak enggak pernah berhenti menanyakan kabar saya selama ini," jelas Ayu panjang lebar.
Surya terdiam. Meskipun masih menolak dengan semua omongan Ayu yang baik-baik itu, tetapi dia senang Ayu tidak berubah. Perempuan itu tidak lantas menjauh, meskipun sempat demikian tetapi lebih karena trauma. Dia tahu Ayu sedang berusaha mengembalikan rasa percaya dirinya, dan yang harus dilakukannya kini adalah benar-benar menjaga keselamatan perempuan cantik ini.
"Jangan sedih lagi, dong. Senyum!" goda Ayu jahil.
"Udah, ah. Ayo pulang, nanti Ayah teleponin gue terus! Ini udah miss call dua kali."
"Eh, kok Ayah malah telepon ke Pak Surya, sih?" Ayu menghela napas. Sepertinya, semua orang sedang mendekatkannya dengan pria ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
There's Something About You
FanfictionSejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...