Her Friend's Wedding (3)

213 25 9
                                    

Seminggu berlalu setelah telepon dari temannya, dan Surya juga tidak memberikan kejelasan apa pun. Mengenai ayahnya, Ayu juga tidak jadi bertanya. Beliau sudah tua dan tidak baik juga memaksanya untuk mengikutinya ke pesta pernikahan.

Perempuan itu sudah membulatkan tekad untuk tidak ikut. Toh, Semesta seakan tidak merestuinya untuk datang, dengan ketidakpastian Surya sebagai penandanya. Ya, dia tahu bahwa Wendy akan mengomelinya dengan berbagai hal mengenai menjaga pertemanan dan lainnya, tetapi harusnya undangan itu tidak memaksa, kan? Terlebih, tidak ada satu pun yang dapat menjamin bahwa Ayu akan baik-baik saja di pesta itu.

Namun, ketika ia mengelap debu-debu di atas loker dengan niat yang sudah tidak terbendung lagi tersebut, Surya menghampirinya dengan ponsel yang menampilkan aneka jas. "Gue mau tahu saran lu. Gue harus beli yang mana?"

Ayu mengernyitkan dahi saat menerima ponsel dari pria itu. Matanya menyusuri jas-jas yang muncul. "Buat apaan, Pak? Sehari-hari juga makenya seragam polisi."

"Gimana, sih? Katanya mau gue temenin ke acara nikahan temen lu." Surya berucap sembari melirik sebentar ke arah Ayu. "Kecuali lu mau-mau aja gue dateng make seragam begini. Mau sekalian gue beliin dress buat lu? Siapa tahu lu bingung mau pake apa buat nanti."

Kalau bisa, bola mata Ayu kini keluar dari rongganya karena pernyataan Surya. Bisa-bisanya pria ini mendekatinya dengan kalimat itu? Apa yang dipikirkannya?

"Serius, Pak?" Saking kagetnya, Ayu sampai bertanya lagi. Dia takut kalau ini murni candaan.

"Gue kapan bohong sama elu, sih, Yu?" tanya Surya dengan lembut.

"Bentar dulu, nih. Saya bingung beneran." Ayu memandang Surya dengan cukup lama, bahkan belum berhenti. Dia tidak habis pikir dengan kelakuan Surya yang agak ajaib ini. Masalahnya, ini sudah seminggu sejak dia menanyakan kesediaan pria itu, dan baru hari ini pria itu memberi jawaban yang pasti.

Ayu menarik napas. Dia berusaha untuk bertanya sebaik mungkin. "Pertama, Bapak akhirnya jadi nemenin saya ke kondangan. Tapi, kenapa enggak terus terang ke saya dari beberapa hari lalu?"

Surya langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia lalu menunduk. "Gue, kan, udah bilang pas itu. Memang kesannya kayak ngambang gitu, sih. Sorry about that."

Perempuan itu mengangguk pelan. "Baik, saya mengerti. Kedua, saya ..." Ayu menimbang-nimbang pertanyaan yang akan diajukannya, dan dia kembali melanjutkan, "saya enggak tahu gimana saya nanti ngebayarin ini?"

Surya segera mengangkat kepalanya. Dia gantian memandang Ayu dengan serius. "You don't have to."

Mendengar hal itu, Ayu menjauh. Dia menggeleng. "Enggak bisa begitu, Pak. Saya enggak mau merasa utang budi."

"Dan gue juga enggak merasa lu harus menyimpan utang budi." Surya mendekat. "Yu, gue mau bantuin lu."

Perasaan Ayu jadi kacau. Surya tidak biasanya bersikap sebaik ini. Dia bahkan lupa kapan terakhir kali mereka beradu mulut setelah akhir-akhir ini pria itu mendadak ramah dan perhatian padanya. Dia juga kembali mengingat-ingat kecenderungan Surya yang sering memakai bahasa Inggris ketika bersama beberapa perempuan cantik yang datang melapor ke kantor ini. Dan beberapa hari terakhir, pria ini sering memakai bahasa Inggris saat berbicara padanya. Ini ... sangat aneh.

Ayu menggulirkan layar ponsel Surya dalam diam, dan matanya tertuju pada jas kasual berwarna biru dongker. Tiba-tiba, dia berujar, "Navy blue suits you well."

"Gimana?"

"Tadi katanya Bapak minta saran saya, kan? Nah, itu tadi saran saya." Ayu menjelaskan. "Untuk celana, mungkin saya sarankan celana kain warna krem kayak ini." Dia berujar sembari menunjuk gambar di ponsel itu. Kemudian, perempuan itu mengembalikan ponsel tersebut kepada pemiliknya. "Semisal Bapak enggak punya, celana kain yang warna abu-abu muda juga bagus."

Surya tertegun. Dia sebenarnya tidak tahu apakah Ayu masih marah dengan sikapnya yang tidak jelas ini atau perempuan itu sudah benar-benar memaafkannya. Yang penting sekarang adalah dia mengikuti arus, menuruti bagaimana reaksi Ayu. Salahnya memang yang tiba-tiba mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Ayu. Salahnya juga yang tidak secepatnya memberi kepastian. Hanya saja, niatnya sebenarnya baik. Dia ingin memberi kejutan untuk perempuan itu. Dia ingin membuat Ayu tersenyum.

"Ehm, temanya emang masuk?"

"Temanya rustic wedding, Pak. Jadi mau formal atau semi-formal juga masuk-masuk aja."

"Oke, berarti untuk pakaian lu tinggal gue sesuaikan aja sama yang ini, ya?" tanya Surya lagi, dengan hati-hati. Dia tidak ingin mengacaukan hari Ayu lagi setelah apa yang sudah dilakukannya tadi.

"Bisa begitu. Saya manut sama Bapak." Ayu menjawab pendek.

"Oke, makasih banyak, ya? Dan maaf atas yang tadi."

Ayu menggeleng. "Jangan khawatir, Pak. Saya baik-baik aja. Saya tahu Bapak berbuat baik ke saya."

Ucapan itu terdengar lembut. Hanya saja, Surya tahu bahwa Ayu tidak mungkin terus terang marah kepadanya. Dia masih merasa bahwa Ayu tidak nyaman dengan tindakannya. 

There's Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang