And You Tuck a Yellow Rose Behind My Ear (3)

143 19 4
                                    

Komandan meminta Sibad untuk mengurusi sesuatu sendiri, tidak didampingi Ayu. Bagi Surya, ini kesempatan yang baik untuknya bertanya pada perempuan yang sedari tadi memandangnya jengkel itu. Entah mengapa, pria itu merasa jika kekesalan Ayu juga ada andilnya.

"Yu, lu apaan, sih? Kok bisa segalak itu? Sibad, kan, baru masuk magang, wajar kalau ada salahnya."

Ayu menghela napas panjang. Dia benar-benar tidak ingin membahas apa pun hari ini, terutama soal Sibad, dan karena itu pula dia memilih menyapu lantai ruang senjata. Itu juga supaya orang-orang tidak menyadari keberadaannya. Namun, mengapa pria itu malah menemuinya, dan bertanya dengan memaksa begitu?

"Saya enggak galak. Dari awal saya kasih instruksi agak tegas itu biar dia terbiasa. Karena ada aja orang nyebelin yang meremehkan profesi ini, dan saya mau dia lebih sabar."

"Tegas? Sinis dan ketus tadi itu lu anggep tegas?"

"Sibad magang di bawah pengawasan saya, jadi semua tindakan saya itu beralasan baik untuk dia. Bapak harusnya tahu itu."

Surya menggeleng. Sikap dingin Ayu itu membuatnya makin tidak mengerti. "Sikap lu sama aja kayak Andhika dan Wendi, Yu. Dan lu tahu kalau mereka nge-bully gue di tiap kesempatan."

"Mana ada saya nge-bully? Tunjukkin ke saya, di mana buktinya?" ucap Ayu makin berang. "Saya meladeni pertanyaan Sibad dari tadi, saya ajak keliling kantor ini dengan suka rela. Salah saya di mana?"

"Enggak. Gue masih anggep lu nyimpen sesuatu sampai bisa gini ke orang lain."

Mendengar hal itu membuat Ayu tersenyum miris. "Oh, oke. Saya emang enggak bisa atur gimana pemikiran Bapak atas saya. Cuman dari tadi kenapa Bapak kesannya mau ngejar jawaban pasti dari saya? Janjian, ya, sama Pak Komandan dan Pak Wendi buat nyingkirin saya? Atau jangan-jangan Bapak disuruh mereka buat cari-cari kesalahan saya biar punya alasan untuk ngusir saya?"

"Enggak ada siapa pun yang suruh gue, dan enggak ada juga yang mau nyingkirin elu dari kantor ini. Gue nanya-nanya begini karena tahu lu gimana," jelas Surya pelan. Netra pria itu seakan menembus pikiran Ayu, mencari tahu apa yang disembunyikan perempuan ini sejak tadi.

Jelas Ayu berusaha berkelit. Dia ingin lepas dari interogasi kecil juga dadakan ini. Itu lantaran dia tidak pandai berbohong sejak dulu, dan tinggal menunggu waktu saja semua yang disembunyikannya terbongkar oleh Surya. Masalahnya, tidak mungkin juga dia terus terang atas dua hal: ketakutannya soal kehilangan pekerjaan (yang tadi sempat disinggungnya tipis-tipis) dan kecemburuannya atas sikap Surya yang lebih lembut kepada Sibad. Hal terakhir ini yang sebenarnya sedang berusaha dia tutupi.

Astaga, dia tidak ingin cemburu pada pemilik rambut tebal nan kelam itu. Namun, melihat Sibad malah membuatkan teh untuk Surya dengan genit (menurut Ayu, tentu saja) membuat hatinya tak tenang. Ditambah pula dengan Surya yang sedari tadi membela Sibad di depannya. Sial, memang sial betul perasaannya yang sulit ditebak ini. Memikirkannya saja membikin matanya mulai terasa panas, seperti akan menangis.

"Saya harus jelasin gimana lagi ke Bapak?" Ayu mengucapkannya dengan perasaan dalam. Dari tadi dia juga sudah disalahkan, jadi dia pasrah saja. "Iya, saya enggak secantik dia. Badannya dia juga jauh lebih bagus dan suaranya lebih lembut, Pak Wendi yang bilang. Kata Pak Komandan, saya juga kurang ramah ke tamu yang datang melapor di kantor ini. Tapi, apa perlu, ya, saya diginiin?"

Ayu tidak bisa sejujur itu. Dia masih membawa narasi 'takut kehilangan pekerjaan' supaya tidak begitu dicurigai Surya. Ya, setidaknya ada sedikit kecemburuan yang dia utarakan ke pria ini, terutama mengenai kekurangannya yang lumayan banyak daripada Sibad. Dan sepertinya, itu dapat ditangkap Surya dengan baik. Pria itu mulai paham dengan kekhawatiran Ayu sampai berbuat demikian kepada Sibad.

"Yu, lu tetap di sini, kok. Dan lagi, kedatangan Sibad bukan untuk gantiin lu. Dia mau bantu-bantu pekerjaan lu aja." Surya menjelaskan.

"Jangan bermulut manis ke saya, Pak. Bapak dulu juga magang di sini, kan, supaya bisa kerja di sini. Ini cuman soal waktu aja saya akan didepak."

"Ya ampun, masih aja lu. Enggak mungkin itu kejadian, Ayu."

"Bisa aja. Pak Komandan ada kuasa. Beliau bisa aja kasih kerjaan saya ke Sibad. Beliau kalau mau minta Amanda kembali juga sanggup."

"Hah? Kok jadi bahas Amanda?" tanya Surya heran. "Sibad sama Amanda enggak ada hubungannya, Yu."

Habis sudah dirinya. Ayu juga bingung mengapa dia begitu lancar membahas Amanda, sosok yang sudah menjadi masa lalu Surya itu. Intinya, dia mengucapkan apa saja yang sempat membuatnya kesal. Oh, iya, Ayu juga sempat merasa cemburu dengan Amanda beberapa waktu lalu hanya karena cerita dari Hesti dan Kiky. Aneh sekali.

"Terserah saya mau sebut siapa aja yang pernah make seragam yang sama kayak saya dan yang udah genit-genit di kantor ini!" Ayu sedikit berteriak. "Udah, saya mau balik ke pantry lagi."

Surya langsung tahu maksudnya. Sebelum Ayu benar-benar pergi, dia memanggilnya kembali, "Yu, bentar dulu."

"Apa lagi?"

"Lu harus tahu kalau gue begini justru karena peduli sama lu, bukan karena mihak Sibad kayak yang lain."

Ayu terdiam. Hanya beberapa menit sebelum bibirnya kembali membalas dengan dingin, "Terserah Bapak."

There's Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang