Sejatinya, tidak ada yang menarik di Kantor Lapor Pak. Hanya saja, Surya, si pemilik rompi hijau neon, memandang lain pada Ayu, seseorang dengan kemeja merah jambu yang sehari-hari tidak lepas dari sapu dan pengki. Pandangan itu lantas membuat suatu...
Kasus pun selesai saat itu juga. Itu dibantu dengan kesaksian juga rekaman CCTV yang masih lengkap dari Reza. Petugas tidak perlu menghabiskan waktu lebih banyak, dan kalau begini mereka masih ada kesempatan untuk pulang lebih awal dan menghabiskan sisa hari raya ini untuk keluarga. Pelakunya sendiri memang sudah biasa mengincar rumah-rumah warga yang kosong karena ditinggal mudik. Untungnya, Reza tidak gegabah dengan menyimpan rekaman CCTV di rumahnya.
Sebagai ucapan terima kasih dari Komandan Andre, juga ucapan maaf karena mengganggu hari libur mereka, semua makanan khas hari raya disediakan di ruang lobi. Tiap petugas diperbolehkan mengambil makanan apa saja di atas meja tersebut. Catatan yang perlu dibaca, meskipun itu atas nama Komandan Andre, yang lebih banyak membeli makanan adalah Reza. Tentu tidak ada yang menyadari hal itu.
Orang-orang mengantre dengan tertib, termasuk Ayu di sana. Surya sendiri berada di belakang perempuan tersebut, sudah bersiap dengan piring dan sendoknya. Tepat saat Ayu ingin mengambil sambal goreng ati, Surya sudah merebut sendok sajinya terlebih dahulu.
"Ya, biarin. Gue emang mau ambil sambel goreng ati, kok."
Di telinga Ayu, nada bicara Surya seperti tidak mau tahu dengan urusannya. Ayu langsung menghela napas panjang, dia tidak boleh marah-marah di hari yang suci ini. "Iya, saya paham. Tapi Bapak harusnya nunggu saya dulu."
Surya mengernyitkan dahi. "Siapa elu atur-atur gue harus gimana?"
Ayu ingin sekali membalas dengan sengit, tetapi urung dilakukan. Lagi-lagi, dia ingat bahwa ini adalah hari pengampunan. Tuhan sedang mengembalikan fitrah suci manusia dengan menjadikan jiwanya sebersih kertas baru. Dia juga sudah berpuasa sebulan lamanya sembari menahan amarah, lalu mengapa untuk hari ini dia sulit untuk mengendalikannya?
Mereka lalu kembali dalam antrean dengan hening. Surya tidak lagi mengganggu Ayu, setidaknya itu berita baik di hari ini bagi perempuan berpita tersebut. Ya, masih tetap baik, hingga tiba di ujung meja, setelah keduanya mengambil sepotong melon segar, Surya mulai membuka suara, "Jangan lupa lu minta maaf sama Reza, karena lu genit banget dari tadi. Kita itu harus profesional dalam bekerja, kalau genit gitu malah bikin orang risih. Lagian lu bukan petugas, ngapain ikut interogasi juga? Aneh."
Kesabaran Ayu habis. "Letakin piring dan melonnya dulu."
"Hah?" Meski tak mengerti, Surya benar-benar melakukannya. Tidak lama, tangan perempuan itu menarik lengan koko hijau pupus yang dipakai si pemilik rambut tebal nan kelam tersebut. Niatnya agar mereka menjauh dari orang-orang yang ingin mengambil makanan di meja.
"Kenapa, sih? Gue mau makan." Surya jadi kesal kembali. Dilihatnya ekspresi perempuan itu yang sudah tidak seramah biasanya.
"Pak Surya sendiri ini penyebabnya. Bapak ada masalah apa sama saya?" tanya Ayu tidak terima. "Tadi pas saya mau ambil sambel goreng ati udah diserobot, terus ada ngomong kalau saya ini genit ke Pak Reza. Bapak kenapa?"
"Oke, soal sambel goreng itu gue salah. Tapi untuk yang bagian genit, gue rasa itu emang kenyataannya. Ngapain lu marah?" tanya Surya balik. Tangan pria itu sudah dilipat di depan dada. "Harusnya gue yang marah, bukan elu."
Surya langsung terkejut dengan ucapannya sendiri, sementara alis Ayu terangkat heran. "Lah, kok gitu? Kenapa emangnya?"
Mampus gue. Ngapain juga ngomong kayak gitu? Tolol, batinnya. Tadi dia sudah diledek Kiky dan Andhika, apa perlu dia menerima ledekan lagi dari Ayu?
"Eng, y-ya, itu. Persis omongan gue tadi. Kalau lu genit-genit sama pelapor, entar bikin risih. Terus, urusan interogasi itu job desc petugas. Bukan OB kayak lu." Surya masih mempertahankan dirinya agar tidak lagi terjatuh di lubang yang sama. "Makanya telinga itu dipake, bukan jadi cantelan doang."
"Oke, tapi saya di situ menghidangkan teh buat yang lain. Saya enggak segenit itu!" Ayu masih tidak terima. Lengan kaftan hijau gelap miliknya bahkan sudah ditariknya hingga di atas siku, pertanda kesal. "Dan pelapor juga enggak risih sama saya. Jadi apa yang sebenarnya dipermasalahkan Bapak?"
"Ya, tetepan aja itu masalah. Katakanlah Reza enggak risih, tapi bisa aja entar dia cerita banyak soal kantor ini yang isinya cewek-cewek genit. Mau ditaruh di mana harga diri kita, Yu?"
Ayu terdiam mendapat reaksi demikian, tetapi pandangannya lebih intens untuk menangkap kebohongan dalam perkataan Surya. Terang saja pria itu langsung mengalihkan wajah dengan pipi memerah. Pandangan Ayu lalu menuju ke pakaian yang dikenakan Surya: koko berwarna hijau pupus yang mencolok. Aneh, mengapa sedari tadi dia tidak sadar jika Surya juga mengenakan pakaian berwarna hijau?
"Koko Pak Surya ijo?"
"Kagak, biru metalik ini." Surya langsung menghela napas. "Udah tahu ijo, make nanya lagi."
"Enggak, kok saya baru tahu ini?"
"Gimana mau tahu, orang elu matanya ke Reza terus," jawab Surya sambil memutar bola matanya.
Sontak Ayu terkejut. "Bapak cemburu sama saya?"
Surya tidak kalah kaget dengan ucapan Ayu. "Ngapain gue cemburu sama lu? PUIH!"
Pria itu lalu kembali ke tempat di mana ia tadi meletakkan piringnya, meninggalkan Ayu yang tersenyum kecil. Ya, itu karena Ayu melihat dengan jelas bagaimana wajah Surya yang sudah semerah ceri.
***
Bonus gambar:
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Jangan tanya kenapa kodok, ini pas sama warna baju mereka anw wkwk)