A Cup of Coffee (2)

346 33 4
                                    

Ayu menghela napas. Tanpa melirik Surya, dia bergegas ke pantry. Kiky yang sudah berada di pintu lobi untuk mengambil koran terbaru memandang keduanya dengan bingung. Dia lantas menghampiri Surya. "Kenapa lagi lu sama Bu Ayu?"

"Biasa. Dia batu banget."

"Hahaha, emang lain, ya, pasangan suami istri ini?" Sebelum dilempar berbagai omelan Surya, Kiky berlari menuju ruangannya kembali.

***

Surya berjalan ke pantry. Berbeda dengan sebelumnya, langkahnya kali ini terasa lebih ringan. Mungkin karena rindunya atas suasana kantor setelah hampir seminggu dia sakit ini terbayarkan. Ya, boleh jadi demikian.

Dibukanya pintu pantry dan tidak lupa dia melongok ke sana. "Yu, gue tunggu di meja gue, ya? Buruan."

"Iya."

"Jangan kebalik garem sama gulanya. Entar bukannya kopi, malah jadi oralit." Lagi-lagi, Surya menguji kesabaran Ayu.

"Biarin! Biar kapok! Salah sendiri minta kopi padahal masih belum sembuh!" sembur perempuan itu dengan pedas, tetapi malah membuat Surya terkekeh.

Tidak lama, prang!

Cangkir berisi kopi panas itu langsung terjatuh. Cairan hitam pekat pun sudah mengotori lantai, membuat perempuan berambut cokelat keemasan itu segera mengambil pengki dan menyapu serpihan-serpihan besar. Jelas dia terkejut, karena tidak biasanya dia seceroboh itu.

"Yu!"

Kepala perempuan itu seketika mendongak, tanpa sadar membuat jemarinya tidak berhati-hati sehingga tergores pecahan cangkir. Sontak si pemilik suara itu menghampiri dan ikut berjongkok. Dan dilihatnya telunjuk si perempuan yang sudah mengucurkan darah segar.

"Udah, lu obatin dulu aja. Biar gue bantu bersihin," jelas Surya.

Ayu tampak kebingungan. Jujur dia ketakutan. "Eng, enggak usah, Pak Surya. Bapak kembali bertugas aja. Ini urusan saya."

"Ya, gimana bisa lu kelarin kalau jari lu aja luka gitu?"

"Enggak apa, Pak. Luka kecil ini. Saya enggak mau bikin Bapak kerepotan."

"Dableg bener dibilangin!" Surya tidak ambil pusing. Dia meletakkan tisu di telapak tangan dan tetap mengambil sisa serpihan kecil di lantai secara perlahan. Sementara si pemilik surai cokelat keemasan itu terdiam.

Hatinya sedang tidak karuan sekarang. Kembali dia mengingat semuanya. Ini satu-satunya kantor yang menerimanya, dan Surya adalah anak dari salah satu komandan di kantor pusat. Yang jadi masalah, itu sebenarnya kopi yang diminta si pria berompi hijau neon tersebut. Kalau pria itu sadar, bukannya tidak mungkin dia segera didepak dari kantor ini.

Astaga, membayangkannya saja membuat pelupuk matanya berair. Ditambah, pria itu justru membantunya memungut pecahan cangkir. Betapa tidak tahu diri seorang office girl sepertinya tidak berbuat apa pun.

"Udah beres. Ni isi pengki gue yang buang, terus lu ambil obat merah di kotak P3K. Oke?" ucap Surya begitu tenang.

"Tapi, itu ... Itu kopi pesenan Bapak tadi." Ayu sudah hampir jebol pertahanannya. Namun, dia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di hadapan pria ini. "Biar saya buatin lagi, ya? Saya benar-benar minta maaf."

"Ya ampun, Yu. Lu ngapa setakut itu? Udah enggak apa, ini kecelakaan. Gue tahu lu enggak sengaja. Cepetan dikasih obat, biar enggak infeksi itu."

"B-Bapak jangan begitu." Dan meledaklah tangis Ayu, membuat pria itu kaget bukan kepalang. Refleks, dia memeluk lembut perempuan itu. Serta merta, hal itu membuat keduanya kaget. Mereka langsung memandang satu sama lain dengan bingung.

Dengan inisiatif, Surya meminta maaf. "Eng, Yu, bukan maksud gue..."

"Enggak, Pak. Enggak apa-apa," potong Ayu dengan cepat. Dia tahu niat pria ini untuk meminta maaf, tetapi dia tidak ingin kejadian ini dibahas lagi. "Ya sudah kalau begitu, saya ...." Ayu seperti kesulitan untuk meneruskan kalimatnya, saking terkejutnya dia.

"Obati segera," ucap Surya singkat, sebelum kembali berjongkok untuk memastikan tidak ada lagi pecahan cangkir yang bisa melukai orang.

"Oh, iya. Permisi." Ayu lantas bergegas keluar.

Sementara itu, Surya menghela napas dengan berat. Pikiran serta hatinya kalut. Ditatapnya pecahan cangkir itu dengan sedih, mungkin setelah ini Ayu akan benar-benar menjauhinya. Sial, memikirkannya saja membuat hatinya makin tak enak.

There's Something About YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang