Chapter 34

359 80 56
                                    

Jiwoo terdiam cukup lama sambil menatap jari manisnya yang kini sudah melingkar dengan indah cincin dengan mahkota berlian besar dan kepingan berlian kecil melingkar di setiap sisi. Bukannya ia tidak tau seberapa tulusnya Mujin mencintainya. Entah kenapa ia merasa sulit menganggukkan kepalanya. Kenapa rasanya ia sulit mengatakan iya.

Mujin menuntun Jiwoo untuk duduk ditepi kasur, ia berjongkok didepannya dan menggenggam kedua tangan kekasihnya dengan lembut.

"Jiwoo-ya, look at me.." Mujin mengusap punggung tangan Jiwoo dengan ibu jarinya.

Jiwoo yang sedari tadi hanya menunduk mencoba menatap Mujin. Jiwoo dapat melihat dengan jelas sorot mata lemah, kecewa, sedih, kesakitan di kedua bola mata coklat kekasihnya.

"Maafkan aku..." ucap Jiwoo dengan suara tercekat dengan air mata menetes.

Mujin memaksakan senyuman tipis, hatinya terasa seperti tersayat, sakit yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Dengan penuh pengertian ia menarik tengkuk Jiwoo untuk menyandarkan kepalanya di bahunya.

Apakah Jiwoo tidak menginginkan pernikahan? Apakah Jiwoo meragukan cintanya? Apakah Jiwoo tidak mencintainya? Pertanyaan konyol itu berputar dalam otak Mujin membuatnya dadanya semakin terasa sesak.

"Baby.. it's okay.." Mujin mengusap punggung Jiwoo

"Aku akan menunggu, tidak perlu dijawab sekarang.. tenangkan dirimu, katakan jika aku membuat kesalahan atau melukai hatimu"

Jiwoo menggeleng pelan, ia memeluk leher Mujin dengan erat dan menumpahkan tangisannya dengan sekeras-kerasnya. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Apakah ia merasa bersalah sudah meragukan cinta tulus Mujin atau terlanjur kecewa dengan perkataan Mujin yang tidak mengingingkan pernikahan. Seharusnya ini tidak terjadi. Seharusnya ia bahagia Mujin melamarnya, bukankah ini yang ia inginkan?

Cukup lama Jiwoo menangis di bahu Mujin hingga tanpa sadar ia tertidur. Dengan pelan Mujin mengangkat tubuh kekasihnya dan merebahkannya di kasur. Ia menyeka sisa air mata Jiwoo dengan hati-hati.

"Maafkan aku Jiwoo-ya.." Mujin memejamkan matanya sembari mengecup kenjng Jiwoo dengan air mata yang jatuh.

***

Sudah hampir sebulan, hari-hari yang dilalui Jiwoo dan Mujin semakin kaku sejak Jiwoo belum juga memberi jawaban atas lamaran Mujin. Walau serumah, sekamar, seranjang tapi keduanya jarang berbicara atau mengobrol seperti dulu bahkan bermesraan. Mujin berusaha berbicara dengan Jiwoo, namun sepertinya rasa bersalah Jiwoo lebih besar dari apapun. Bahkan Jiwoo selalu berangkat kerja lebih pagi sebelum Mujin bangun ataupun sesekali menginap di rumahnya sendiri. Di kantor pun Jiwoo selalu menghindari Mujin.

Mujin berdiri menghadap kaca didepannya, menatap cerahnya kota Seoul di siang hari.
Sejak hubungannya dengan Jiwoo merenggang, jantungnya terasa setiap saat bagai diremas dan ditusuk. Sakitnya bukan main. Ia seperti kembali menjadi pria dingin.

Haruskah aku melepaskannya? Tidak. Aku tidak bisa. Tidak akan pernah bisa. Aku akan mati jika melakukannya. batin Mujin.

Jiwoo menatap cincin di jari manisnya. Ia menghela nafas panjang. "Sudah cukup, aku tidak bisa terus menyiksamu Choi Mujin, akulah yang bersalah"

Malam ini Jiwoo berencana memberikan jawaban atas lamaran Mujin. Tentu saja ia akan menerima lamaran pria yang sangat dicintainya. Menikah, mempunyai keturunan, membangun keluarga dan bahagia sampai tua.

Mujin sampai dirumah dengan keadaan cukup berantakan. Rambut yang acak-acakan, kemeja yang terbuka sampai ke dadanya dan bau alkohol dengan seorang wanita jalang yang merangkulnya.

Senyuman di wajah Jiwoo seketika luntur melihat keadaan Mujin. Kecewa, sakit hati, marah bercampur menjadi satu menghantam dadanya dengan kuat.

"Choi Mujin!" teriak Jiwoo marah dengan rahang menegang.

Wanita jalang yang merangkul Mujin cukup terkejut dan segera pamit melihat Jiwoo yang seakan-akan ingin menelannya hidup-hidup.

Mujin menatap Jiwoo dengan bola mata sayu. Ia bahkan sudah menghabiskan beberapa botol alkohol namun ia masih sangat sadar.

"Yoon Jiwoo.." ucap Mujin dengan suara serak.

"Jiwoo-ya.. mari. kita." Mujin menghela nafas berat dengan air mata mulai jatuh.

"Mari kita akhiri hubungan ini" ucap Mujin pelan dengan frustasi. Ia mengambil nafas dengan mulutnya. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Kalimat yang tak pernah ingin ia ucapkan terlontarkan begitu saja.

Jiwoo menatap tak percaya. Ia tertawa sakit hati. Air mata seketika menetes dengan deras. Pertahanannya seakan runtuh, pria yang selalu mengatakan tidak bisa hidup tanpanya tetapi malah ingin mengakhiri semuanya.

"Kau bersungguh-sungguh?" tanya Jiwoo dengan tangan terkepal. Ia berusaha bernafas mengambil oksigen yang terasa menyesakkan.

Mujin mengangguk pelan. Dadanya terasa seperti ditusuk. Sangat sakit.

"Kau yakin dengan ucapanmu Choi Mujin?" Jiwoo masih berusaha tidak mempercayai semuanya.

"Maafkan aku Jiwoo-ya.." Mujin berjalan lemah melewati Jiwoo.

Jiwoo terdiam terpaku. Rasanya seluruh hatinya runtuh dan sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Semuanya terasa begitu menyakitkan hingga rasanya ingin mati saja.

"Tunggu!" ucap Jiwoo mengeratkan kepalan tangannya hingga kuku-kuku di jarinya melukai telapak tangannya hingga berdarah.

Mujin menghentikan langkahnya tanpa berbalik, ia takut jika berbalik, ia akan memeluk Jiwoo dan meminta maaf. Keduanya masih dengan posisi saling memunggungi.

"Aku ingin memberimu pelajaran! Cukup angkat teleponku mulai sekarang" ucap Jiwoo marah.

"Aku akan menerimanya" jawab Mujin pasrah.

Jawaban Mujin yang membuat Jiwoo semakin marah sekaligus kecewa, ia mengambil tas dan ponselnya lalu berlari keluar dari rumah Mujin.

Mujin terjatuh dan duduk dengan lemas di lantai. Ia membaringkan tubuhnya yang lemah menatap langit-langit rumah. Keputusan yang terasa sangat amat menyakitkan. Keputusan yang telah mengambil seluruh nyawa, nafas dan kehidupannya. Namun lebih baik jika Jiwoo tidak lagi bahagia bersamanya.



Aku terharu bangett karena di bom voted kalian 😭😭😭 astaga 🫶🏻🫶🏻 semua voted diatas 25+ 😭 pliss banget, aku senang 😭😭

Semoga vote bisa tetap diatas 25+ 😭😭😭
Saranghae 😭🫰🏻❤️

Uncontrollably Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang