Chapter 43

339 144 47
                                    

"Hentikan!" teriak Jiwoo panik.

Mujin hanya menggeleng.

"Aku benar-benar minta maaf Jiwoo-ya, aku selalu mengecewakanmu, selalu menyakitimu di saat kau selalu memaafkanku dan memberiku kesempatan. Aku sangat membenci diriku sendiri" ucap Mujin lirih.

"Letakkan pisaunya.. ini bukan salahmu. Ini adalah takdir. Dari awal kita tidak seharusnya bersama.." Jiwoo menelan ludahnya yang terasa seperti pisau yang menyayat tenggorokannya, air mata nya tidak berhenti menetes.

Mujin semakin sakit melihat Jiwoo yang terus menangis, ia mengeratkan cengkraman pisau yang masih ia tahan dengan sekuat tenaga di lehernya. Semua ini terjadi adalah karena salahnya.

"Jiwoo-ya.. aku- aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Aku tidak peduli apapun itu. Aku tidak pernah bermaksud berbohong padamu, aku hanya takut kehilanganmu. Aku tidak bisa"

Jiwoo sangat tau bahkan lebih dari diri Mujin sendiri, pria itu sangat mencintainya, namun Jiwoo merasa dirinya sangat sakit hati saat mengetahui kenyataan tentang Mujin.

"Letakkan dulu pisaumu.."

Mujin tersenyum sedih.

"Ini adalah akhir yang pantas untukku"

Jiwoo semakin panik melihat darah yang masih mengalir dari leher Mujin. Sungguh ia tidak sanggup melihat pria itu kesakitan, hatinya ikut hancur melihat Mujin yang melukai dirinya sendiri.

"Jika kau melukai dirimu, maka jangan pernah muncul di hadapanku. Aku tidak ingin melihatmu lagi" Jiwoo berbalik dan menyeret kopernya berharap ancamannya menggoyahkan Mujin untuk tidak melukai dirinya.

Mujin semakin kalut, ia berlari ke hadapan Jiwoo dan menggenggam kedua lengan Jiwoo.

"Aku harus bagaimana? Katakan padaku"

"Berbahagialah jika suatu saat kau menemukan wanita lain"

"Tidak! sampai mati.. aku hanya akan mencintaimu dan menunggumu"

"Jangan menungguku, aku-" Jiwoo menutup mulutnya yang ingin muntah, perutnya mual.

"Apa yang terjadi? Kau sakit? Wajahmu sangat pucat" kata Mujin khawatir.

"Aku tidak apa-apa" Jiwoo berlari ke wastafel dan memuntahkan isi perutnya.

Mujin sangat cemas, ia mengikuti Jiwoo dan mengelus punggungnya.

"Kau hamil?" tebak Mujin.

"Aku hanya masuk angin, tidak apa-apa" jawab Jiwoo gugup, ia menatap leher Mujin yang berdarah dan mengusapnya pelan, "Jangan pernah melukai dirimu"

Mujin menggenggam tangan Jiwoo dan mengecupnya.

"Jika kau sangat mengkhawatirkanku, jangan tinggalkan aku. Aku akan berhenti melakukan pekerjaan itu"

Jiwoo menatap sendu pada Mujin dan tersenyum tipis menahan air matanya, "suatu saat.. suatu saat nanti, mungkin aku bisa memberikanmu kesempatan lagi, untuk saat ini-" Jiwoo menggeleng lemah.

Mujin langsung memeluk Jiwoo dengan erat dan menangis, "aku bisa mati Jiwoo-ya.. aku akan mati jika kau seperti ini.."

Jiwoo membalas pelukan Mujin dan membelai rambutnya dengan lembut, "Disaat nanti aku sudah bisa menerima kenyataan ini"

Jiwoo ingin melepaskan pelukan Mujin namun pria itu semakin erat memeluknya tidak ingin melepaskan sedetik pun. Jiwoo semakin merasa sesak dan sakit.

Mujin melepaskan pelukannya dengan sangat terpaksa. Jiwoo menatap sepasang mata sayu  Mujin. Sangat sakit rasanya melihat pria itu tidak berdaya.

"Semuanya akan baik-baik saja, biar waktu yang menjawab semuanya" Jiwoo menangkup pipi Mujin dan menyeka air mata yang tidak berhenti menetes.

Mujin menatap datar tanpa ekspresi dengan air mata deras saat melihat Jiwoo yang perlahan menghilang dari pandangannya. Ia bahkan tidak dapat mengungkapkan seberapa sakit tubuh dan hatinya saat ini. Betapa menyakitkan kenyataan ini. Semua hanya bisa ia curahkan melalui air mata.

***

Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!

Mujin mencengkram kasar kerah baju Taeju dan tanpa henti memukul wajahnya yang sudah mulai babak belur.

"Brengsek!"

Taeju hanya diam tanpa membalas pukulan Mujin.

"Bajingan!"

"Maafkan aku hyung!" ucap Taeju lirih.

"Setelah kau mengacaukan pernikahanku hanya maaf yang bisa kau katakan?!!" Mujin tertawa marah.

Mujin kembali meninju keras rahang Taeju.

"Hanya Jiwoo lah satu-satunya kebahagianku tapi kau mengacaukan segalanya!!"

Mujin duduk diatas tubuh Taeju, menarik baju pria tak berdaya itu dan terus memukulnya membabi buta.

"Hyung.." Taeju hampir kehilangan kesadarannya dengan lumuran darah di mulut dan wajahnya.

"Kenapa Taeju-ya?!! Kenapa?!! Apa aku tidak berhak bahagia?!!" teriak Mujin frustasi bercampur marah.

"Enyahlah dari hadapanku bajingan!!" Mujin menghempaskan tubuh Taeju.

Nafas Mujin terengah karena emosi yang memuncak. Ia menyelidiki siapa yang memberitahu Jiwoo tentang dirinya dan ia mengetahui semuanya bahwa Taeju yang menceritakan semuanya pada Jiwoo.

...

Hari demi hari berlalu begitu saja. Tidak terasa sudah 2 bulan lamanya sejak Jiwoo meninggalkan Mujin. Hari semakin terasa berat untuk Mujin.

Mujin menatap sendu ke luar jendela kantornya. Hanya rasa sakit dan sesak di dada yang bisa ia rasakan selain itu tidak ada.
Ia semakin menyalahkan dirinya dan membenci dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa ia lakukan saat Jiwoo terus menolaknya namun ia sangat percaya bahwa Jiwoo masih sangat mencintainya dan akan memberikan kesempatan untuknya.
Hanya dengan secercah harapan itulah ia bertahan sampai detik ini.

Malam ini Jiwoo baru saja pulang dari restoran ibunya. Ia meminta izin untuk mencari udara segar. Jiwoo duduk melamun di sebuah bangku dekat pantai, air matanya menetes dengan sendirinya. Mujin menghela nafas berat, tidak dapat ia bohongi jika ia sangat merindukan Jiwoo hingga ia selalu diam-diam melihat Jiwoo menangis dari kejauhan.

Mujin akhirnya memberanikan diri berjalan dan berjongkok di hadapan Jiwoo.

"Berhentilah menangis.. aku.. aku sangat menderita melihatmu menangis, aku merindukan senyummu yang cantik" Mujin menggenggam tangan Jiwoo berharap tidak ingin melepaskannya.

"Apa yang harus kulakukan agar bisa membuatmu tidak menangis lagi?" ucap Mujin lembut.

Jiwoo menangis semakin kencang.

"Haruskah.. haruskah aku benar-benar menghilang dari hidupmu?" tanya Mujin penuh kesakitan.

Mujin menarik kepala Jiwoo untuk bersandar di bahunya. Ia tidak bisa terus membiarkan Jiwoo terus menangis karenanya.

"Apapun akan kulakukan Jiwoo-ya jika itu membuatmu lebih baik. Jangan menangis, jangan sakit dan bahagialah" Mujin membelai rambut Jiwoo penuh kasih sayang, perlahan air matanya semdiri mulai menetes.

"Aku akan pergi. aku akan menghilang dari hidupmu, aku janji.." Mujin tersenyum sedih dan mengecup lama kening Jiwoo, dadanya terasa sesak dengan air mata mengalir.


Maaf author akhir-akhir sibuk buangettt 😭
Tapi tetap sempetin buat nulis 😖
Dikoreksi jika ada penulisan yang salah karena ngetiknya jeda-jeda 🥹🥹

Jangan lupa vote ❤️ biar author semangat untuk lanjutin sampai ending 😘😘
Gomawo 😊 saranghae 🥰🫶🏻🫶🏻

Uncontrollably Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang