Chapter 37

388 109 39
                                    

Mujin membanting dan melempar seluruh barang-barang di kamarnya hingga pecahan kaca berjatuhan di lantai dan mengenai kaki serta tangannya.
Namun ia tidak peduli karena terlalu marah pada dirinya sendiri. Ia meremas dada kirinya yang terasa sangat amat sesak.

Bruk!

Mujin jatuh pingsan.

...

Jiwoo buru-buru datang ke rumah sakit dengan keadaan panik dan khawatir saat sekretaris Cha meneleponnya. pria itu tau persis apa yang membuat bos nya tidak bekerja berhari-hari semua itu karena patah hati dan putusnya dengan Jiwoo.

"Seungwon-ssi! Mujin tidak apa-apa?" tanya Jiwoo cemas dengan wajah menahan air mata.

Cha seungwon berdiri dari duduknya di luar kamar VIP, ia mengamati Jiwoo dari atas sampai bawah. Wanita itu memakai pakaian tidur dengan cardigan tipis dan sandal jepit yang tertukar. Saking panik Jiwoo tidak memperhatikannya.

"Daepyeonim tidak apa-apa, dia hanya dehidrasi dan lemas karena tidak makan berhari-hari dan stres berlebihan" jelas Seungwon.

"Maaf, karena menghubungimu. Aku tidak tau harus menelepon siapa" ucap Seungwon merasa bersalah.

"Tidak apa-apa" balas Jiwoo.

"Masuklah. Daepyeonim masih tidur" Seungwon membukakan pintu untuk Jiwoo.

Jiwoo berjalan pelan masuk dan mendekati ranjang Mujin. Jarum infus terpasang di punggung tangannya, beberapa perban di lengan dan pelipisnya, walau mata pria itu terpejam namun terlihat jelas wajah lelah dan pucat. Jiwoo duduk disamping Mujin, ia menggengam tangan besar nan dingin pria itu dan menangis tanpa suara.

Mata Mujin terbuka sedikit antara sadar dan tidak. Samar-samar ia melihat Jiwoo menangis dan memanggilnya.

"Jiwoo-ya.. mianhae.." ucap Mujin berulang-ulang mengingau.

Jiwoo menyeka air mata Mujin yang mengalir dari sudut matanya. Sedih, sakit dan rasa bersalah bercampur saat melihat keadaan Mujin. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan pria kuat itu terbaring lemah seperti sekarang.

Jiwoo tidak tidur semalaman dan menjaga Mujin hingga pagi. Seperti tau Mujin akan bangun, sebelum pergi Jiwoo menatap wajah pria yang sangat ia cintai, ia mengusap rambutnya penuh kasih sayang.

"Setelah ini hiduplah dengan bahagia, Choi Mujin. Pastikan kau bahagia agar aku juga bisa menjalani hidupku" ucap Jiwoo dengan suara pelan.

Jiwoo meninggalkan kamar Mujin dan beberapa saat kemudian pria itu terbangun.

"Daepyeonim, anda sudah siuman? Aku akan memanggil dokter"

Mujin menghela nafas berat. Pandangannya kosong keatas langit kamar. Ia berusaha mengingat suara Jiwoo yang entah dalam mimpi atau tidak, namun sentuhan dan suaranya cukup nyata. Mujin melihat telapak tangan kiri yang digenggam Jiwoo. Sentuhan yang terasa sangat nyata.

Dokter menjelaskan keadaan Mujin yang sudah baikan dan bisa pulang besok.

"Apa Jiwoo tadi disini?" tanya Mujin dengan sorot mata lemah nan berharap. Berharap sekeretarisnya mengatakan benar bahwa ia tidak bermimpi.

"Ti- Ti-dak Daepyeonim, hanya aku yang ada disini" Seungwon menggigit bibirnya.

Jiwoo sudah berpesan pada Cha seungwon untuk tidak memberitahu Mujin bahwa ia ada disini semalaman. Ia tidak ingin pria itu tau.

***


Satu bulan kemudian.

Mujin sudah tidak bisa menahan perasaannya. Rasa sakit dan sesak di dadanya semakin menggerogotinya. Ia memutuskan untuk ke rumah Jiwoo. Biarlah jika ia hanya bisa melihat wanita yang ia cintai dari kejauhan. Setidaknya bisa sedikit mengobati rasa rindunya.

Namun bukan wajah Jiwoo lah yang ia lihat saat pintu rumah terbuka. Dari kejauhan Mujin melihat wajah orang asing. Ia menghampiri seorang pria paruh baya.

"Bagaimana anda bisa keluar dari rumah ini?" tanya Mujin panik berharap apa yang ia pikirkan tidaklah benar.

"Aku sudah membeli rumah ini dua minggu yang lalu"

"Apa?"

"Ini adalah rumahku" balas pria itu sedikit kesal dan berlalu dari hadapan Mujin.

Mujin kembali ke mobilnya, ia menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. Ia sangat merindukan Jiwoo hingga rasanya bernafas pun tidak ada gunanya.

Jiwoo sudah dua minggu kembali ke busan dan tinggal dengan ibunya setelah menjual rumahnya. Tentu saja ibunya tau bahwa sesuatu terjadi pada Jiwoo dan Mujin. Namun ibunya tidak menanyakannya apapun.

Angin pantai di malam hari cukup dingin. Jiwoo yang sedang duduk di pasir sedang melamun menatap sendu ke depan. Jemarinya bergerak menyentuh kalung di lehernya.
Ia tersenyum tipis dan melepaskan kalung itu.

"Aku bahkan lupa mengembalikan kalungmu" gumam Jiwoo menatap kalungnya.

"Tidak apa. Yang penting aku sudah mengembalikan hatimu" Jiwoo tertawa sedih.

Namun tertawa itu seketika berubah menjadi tangisan pecah. Jiwoo meremas dadanya yang terasa sangat amat sesak hingga ia kesulitan bernafas.

"Choi Mujin..." suara Jiwoo tercekat, kepalanya terasa sakit berdenyut akibat tangisannya.

Mujin yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Jiwoo ikut menangis. Sakit rasanya melihat Jiwoo seperti ini. Ia mengingat semalam sekretarisnya keceplosan mengatakan Jiwoo menjaganya saat di rumah sakit, membuat Mujin semakin menyesal. Tanpa pikir panjang ia menuju busan dan mencari Jiwoo di pantai dekat rumahnya yang menjadi tempat kesukaan Jiwoo.

Mujin menghampiri Jiwoo dan berdiri di hadapannya. Dengan mata sembab dan bengkak Jiwoo melihat sepasang kaki di hadapannya. Ia mendongak dan menatap Mujin. Untuk sesaat keduanya hanya saling bertatapan sendu seolah menyalurkan kerinduan dan cinta mendalam.

Bukannya Mujin tidak tau seberapa sedih dan sakit hatinya Jiwoo saat ini. Bahkan ia rela melakukan apapun agar Jiwoo bisa kembali padanya.

Mujin berlutut di hadapan Jiwoo dengan lemas dan menangis tersedu-sedu.

"Jiwoo-ya.. aku tau, walau beribu kali aku meminta maaf pun tidak bisa menyembuhkan lukamu. Aku tidak pernah ingin mengakhiri hubungan kita. Aku-. Aku sangat mencintaimu hingga rasanya aku bisa mati tanpamu. Aku sangat marah pada diriku sendiri" Mujin memukul dadanya dengan sangat kencang.

"Hentikan!" teriak Jiwoo.

"Bunuh saja aku, Jiwoo-ya.. aku mohon, bunuh aku.." Mujin menunduk menangis.

Jiwoo bisa melihat dengan jelas bulir-bulir air mata kesakitan pria itu yang jatuh ke pasir. Tentu saja hatinya juga sakit melihat Mujin seperti ini, mungkin di mata orang lain Mujin terlihat seperti pria yang kuat, dingin dan kasar tapi bagi Jiwoo, pria itu sangat lemah dan rapuh. Satu-satunya kelemahan Mujin adalah Jiwoo.



Ah.. sudahlah, author sudah lelah nangis bombay 😔😔

Don't forget voted ya! Biar author semangat cepet-cepet update 🥰❤️
Happy satnight 🤗

Uncontrollably Love (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang