Crying

1K 161 42
                                    

Krist memilih bungkam dan tak mengucapkan semua hal yang bersarang dalam benaknya. Meskipun sebenarnya dia sangat penasaran, pria bernama Singto yang mengaku suaminya itu dengan telaten menyuapi Krist. Bahkan selalu siap sedia membantunya ketika Krist ingin ke kamar mandi, dia akan dengan sigap menggendongnya dan membantunya selama di kamar mandi.

Tapi, tetap saja Krist merasa asing dengan sosok tersebut. Dalam raut wajah Singto seolah dia sedang menyembunyikan hal besar.

"Singto, dimana ponselku?" tanya Krist.

"Aku nggak tahu, kukira kamu sudah menyimpannya sendiri." Singto menjawabnya sambil memberikan potongan buah apel pada Krist.

Krist menggelengkan kepalanya, semenjak dia sadar tak ada seorangpun yang tahu keberadaan ponselnya.

Singto menghela nafas, "Ya sudah, besok aku belikan. Agar kau tak bosan saat disini," ucap Singto sambil mengusap rambut Krist.

Krist membeku ditempatnya mendapat perlakuan Singto yang begitu manis, jantungnya berdebar begitu keras di dalam sana. Dalam benaknya dia bingung, apa dirinya sudah menyukai Singto kembali.

"Apa si kecil menginginkan sesuatu?" tanya Singto memusatkan pandangannya pada Krist.

"Si kecil?" Krist memiringkan kepalanya sedikit mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Singto.

Singto menyentuh dan mengelus perut Krist. "Dia, kamu nggak lupakan?"

Krist terhenyak merasakan sentuhan Singto. Badannya seperti mendapat sengatan listrik dengan daya kecil, namun dapat membuat dirinya membeku sebentar. Dirinya melupakan fakta itu karena terlalu terkejut dengan kehadiran Singto hari ini.

Pandangannya ikut turun melihat tangan Singto yang masih senantiasa mengelus perutnya. Tatapan Singto bahkan masih di sana, entah apa arti dari tatapan Singto yang berubah agak sendu.

"Apa kau malu?" tanya Krist yang akhirnya buka suara.

Singto mengalihkan pandangannya dan menatap Krist dengan kening berkerut. "Malu? Malu kenapa?" tanya Singto balik.

Krist tersenyum miris, "Aku laki-laki, tapi bisa hamil. Dan parahnya lagi sekarang aku justru sedang cacat," ucap Krist sambil melihat kakinya yang menggantung di depan sana.

"Menyedihkan," gumam Krist menatap nasibnya.

Mata Singto terbelalak mendengar semua yang diucapkan oleh Krist. Dirinya bisa melihat sosok Krist yang seolah menertawakan dirinya sendiri, itu membuat hati kecil Singto sakit. Sebenarnya dia juga tak tega melihat keadaan Krist yang seperti ini.

Krist terhenyak merasakan tangan besar yang menyentuh tangannya. Bisa dirinya lihat Singto memandangnya dengan senyuman tulus disana. Hingga akhirnya dia berkata, "Sayang, mungkin aku tak bisa merasakan sakitnya dirimu sekarang. Namun, kamu harus tahu aku tak pernah malu mempunyai dirimu dalam hidupku. Hamil atau tidak, itu tak akan pernah mengurangi rasa sayangku padamu. Aku akan menjadi kakimu dalam setiap langkahmu," ucap Singto dengan serius.

Krist tak tahu harus membalas ucapan Singto bagaimana, tanpa sadar air matanya turun tanpa bisa dia cegah. Bibirnya mencebik ke bawah, dan tertutup rapat menahan tangisannya agar tidak pecah. Dia nggak ingin terlihat rapuh di depan Singto. Meskipun, katanya Singto adalah suaminya. Tapi, sungguh Krist tak ingin.

Singto yang melihat itu bangkit dari kursinya dan duduk di pinggiran ranjang, membawa tubuh Krist dalam pelukannya. "Menangislah, jangan ditahan."

"Hiks... hikss... tidak aku tak mau," rengek Krist yang masih menahan tangisannya. Dia mencengkram kemeja Singto dengan kuat.

Connection Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang