Tranquil

439 57 5
                                        

Krist berbaring diranjang rawatnya dengan begitu gelisah, pandangannya tak lepas dari pintu ruangannya. Menunggu Singto yang akan datang kesini, yang mana ternyata siang ini Singto pulang ke rumah dengan niat untuk lunch bersama dengannya. Namun, tak menemukan keberadaan Krist dimanapun, bahkan pembantu tak mengetahui karena memang Krist tak ada yang menitip pesan ke mereka mau kemana.

Singto pada akhirnya menelfon pasangannya, meskipun awalnya berbohong pada akhirnya Krist jujur kalau dirinya sedang dirawat di rumah sakit sekarang. Setelah dia mengatakan itu sambungan telefon antara keduanya langsung terputus begitu saja, dan Krist bisa menduga kalau saat ini Singto pasti sedang menuju ke sini.

Waktu seolah berjalan begitu lambat, jarum jam seolah tak bergerak sesuai biasanya. Itu membuat Krist semakin gelisah, dalam benaknya bertanya-tanya apakah sudah saatnya semua terbongkar. Apakah dia sanggup memberitahukan kenyataannya pada Singto, bagaimana respon suaminya setelah mengetahui semuanya ini? Mengapa dia selemah ini? Kenapa semua kemalangan ini terjadi pada dirinya? Banyak pertanyaan yang bersarang dalam benaknya saat ini.

Terlalu sibuk dengan pemikirannya sendiri hingga tak mendengar pintu terbuka menampilkan sosok pria yang sedari tadi ia tunggu. Singto berjalan mendekat ke ranjang dimana Krist berada saat ini, dia bisa melihat Krist yang melihat atas entah apa yang dia pikirkan hingga tak mendengar kedatangannya.

"Sayang," panggil Singto dengan suara selembut mungkin. Dia sedih melihat keadaan Krist yang seperti ini. Jujur dia selalu merasa tidak tega kalau melihat Krist berbaring disini.

Krist yang mendengar itu sontak tersadar dari lamunannya, dia menoleh ke samping mendapati Singto yang sedang menatapnya dengan pandangan sendu. Melihat itu membuat Krist tersenyum tipis setidaknya dia tak ingin dikasihani seperti ini.

"Kamu udah sampai ya, Phi." Singto menganggukkan kepalanya menjawab ucapan Krist.

"Apa kata dokter sampai kamu harus dirawat seperti ini, Sayang?" tanya Singto sembari memegang tangan Krist.

Krist menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. "Duduklah dulu, Phi," pinta Krist yang langsung dituruti oleh Singto.

"Sekarang ceritakan."

"Nggak apa-apa kok, katanya hanya kelelahan dan disaranin buat dirawat aja biar diinfus dan tenagaku bisa segera pulih."

"Yakin hanya karena itu? Kalau hanya kelelahan bukannya bisa rawat jalan saja dan istirahat saja dirumah. Ayo bicara jujur sama aku, jangan ada yang disembunyikan," desak Singto karena menurutnya nggak mungkin Krist hanya kelelahan saja pasti ada perihal lain.

"Memangnya kenapa kalau aku dirawat, kamu nggak mampu bayarnya ya," canda Krist dengan tawa kecilnya berharap bisa meredakan ketegangan yang ada diruangan ini.

"Mana ada seperti itu, kalau soal bayar rumah sakit suamimu ini lebih dari mampu sayang. Aku hanya ingin kamu jujur apa yang sebenarnya terjadi." Senyuman tipis yang sedari tadi menghiasi wajah Krist kini langsung sirna.

Dia menghela nafas pelan sembari menatap Singto dia berkata, "Kata dokter aku agak setres, padahal nih ya Phi aku kayaknya nggak memikirkan apapun loh. Kok bisa dokter bisa beranggapan seperti itu ya, berhubung dokter minta aku dirawat yaudah aku turutin deh. Maaf, sudah membuatmu khawatir, tapi seriusan deh aku gak mikirin aneh-aneh kok."

Singto terdiam mendengar semua penuturan Krist, dia langsung mencondongkan badannya dan memeluk Krist. Tentu saja itu membuat Krist terkejut dengan respon Singto, bahkan tak lama terdengar suara isakan. Itu membuat Krist semakin bingung dibuatnya.

"Loh, kenapa kamu nangis Phi?" tanya Krist mencoba mendorong Singto darinya. Sayangnya, Singto justru semakin erat memeluk Krist.

"Kamu pasti tertekan ya selama hamil, maaf aku belum bisa meringankan beban ini. Tapi, tolong katakan semua kegundahan hati kamu sayang. Aku tahu pasti sangat sulit ya hamil karena pada dasarnya kamu pria, bagi denganku sayang, bagi semua beban dalam benakmu sama aku sayang. Jangan dipendam sendiri, aku sedih melihatmu dirawat seperti ini."

Dia mengalungkan tangannya di leher Singto semakin mempererta pelukan itu. Hingga tanpa sadar air matanya menetes. Hati Krist terenyuh mendengar alunan kata dari suaminya, bolehkah dia berharap ingin bahagia selamanya dengan Singto? Tapi, kita tak tahu takdir di masa depan, namun dia berharap kebahagiaan ini tak cepat berlalu. Tak lama pelukan itu terlepas, mereka saling memandangi satu sama lain.

"Phi Singto, aku nggak tahu masa depan kita akan bagaimana. Tapi, tolong ingat dalam benak kamu aku sayang banget sama kamu, maafkan aku jika dulu sempat menolak perjodohan kita, tapi kini aku bersyukur mempunyai kamu dalam hidupku. Terima kasih ya, Phi. Aku harap nanti kamu juga akan menyayangi anak kita sama besarnya kamu menyayangiku. Aku tak ingin mendapatkan kasih sayang lebih banyak darinya, aku ingin kamu membagi rata antara aku dan dia. Apakah bisa Phi?" tanya Krist.

"Masa depan kita akan baik-baik saja, Sayang. Aku akan menyayangimu dan anak kita sama rata. Kalian adalah hadiah terindah dalam hidupku, aku juga terima kasih karena sampai saat ini kamu masih mau berdiri disampingku."

Krist tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Dia menggeser tubuhnya dan menepuk sisi kosong disebelahnya lalu berkata, "Sini naik ke ranjang, aku pengen peluk yang lama banget."

Dengan senang hati Singto menurutinya, Krist langsung masuk ke dalam dekapan Singto. Menghirup wangi yang akhir-akhir ini menjadi kesukaannya. Rasanya begitu tenang dalam posisi ini, dia merasa beban dalam benaknya terasa ringan.

"Kamu mau namain anak kita siapa nanti?" tanya Krist.

"Kamu maunya siapa?"

"Ih, kok nanya balik sih. Kamu aja yang kasih nama, aku setuju apapun itu."

"Beneran ya? Nggak bakal protes kan?" tanya Singto memastikan itu.

Krist menggelengkan kepalanya. "Iya, jadi siapa?"

"Bagaimana kalau Fiat?"

"Fiat?"

Sembari mengelus rambut Krist. "Iya, Fiat Perawat Ruangroj. Aku ingin ada nama kita berdua di dalam namanya, cocok nggak?"

"Cocok-cocok aja kok. Baby Fiat kalau udah besar jadi anak yang baik ya dan semoga kamu selalu nurut sama ayah." Krist mengelus perut buncitnya.

Singto ikut mengelus perut Krist, dia berkata, "Anak kita pasti akan menjadi anak baik kok. Kamu nggak perlu khawatir, Sayang."

.

.

.

.

.

Holla, lama banget nih kayaknya aku nggak up ya hehehe

Ada yang kangen gak ya sama cerita ini? Btw, aku baru sadar ternyata ceritaku keknya selalu lebih dari 50 chapter alias itu banyak banget gak sih L kalian bosen nggak? Apa lain kali aku nulis yang pendek-pendek aja ya?

Jangan lupa tinggalin jejak ya, baik itu vote ataupun komen. Itu sangat berharga buat author amatir sepertiku, biar gak males hehehe

See you next chapter gaes...

Connection Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang