Tired

399 42 10
                                        

Kini Krist lebih banyak bersyukur atas semua kebahagian yang terjadi di hidupnya. Meskipun hidupnya selama beberapa bulan ini terasa sangat berat, serta ada teror yang entah dari siapa yang sampai saat ini belum tertangkap dalangnya.

Dia udah ada ditahap pasrah dengan apa terjadi di masa depan. Apalagi dengan diagnosa dokter yang mengatakan kesehatannya memburuk. Setiap malam dia merasa sulit untuk bernafas, setiap tarikan nafasnya terasa begitu berat. Namun, dia ingin bertahan sampai akhir.

Singto terlelap di sofa yang ada di ujung ruangan. Laki-laki itu kelelahan karena pekerjaannya dibawa ke rumah sakit sambil menjaga dirinya. Padahal Krist sudah bilang kalau tak apa jika Singto kembali ke kantor. Namun, dia tetap keras kepala ingin bersama dengannya.

“Kenapa nggak tidur malah liatin aku?” tanya Singto dengan suara seraknya yang terbangun dan mendapati Krist yang sedang menatapnya saat ini.

Krist tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, “Nggak bisa tidur,” jawab Krist.

Mendengar itu Singto bangkit dari posisinya, dia berjalan mendekati Krist. “Ada yang kamu pikirin ya? Sini bagi sama aku,” pinta Singto.

Krist tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Aku nggak mikirin apapun kok.”

“Beneran?” tanya Singto yang tak yakin dengan ucapan yang diutarakan oleh Krist.

Krist hanya mengangguk, meskipun sulit untuk dipercaya. Namun, Singto memilih tak tanya lagi. “Mau jalan keluar?”

“Emang boleh?” tanya Krist.

“Boleh, kalau sebentar aja.” Singto membawa kursi roda yang ada di ujung ruangan mendekat ke ranjang dan membantu Krist untuk duduk di sana.

Ketika keluar ruangan, suasana tampak begitu senyam tak ada lalu lalang suster ataupun pengunjung karena memang ini pukul 3 pagi. Jadi, semua sedang beristirahat.

Dan dorongan kursi roda itu terhenti di taman rumah sakit dengan pemandangan air mancur dengan warna-warni yang menghiasinya, tampak semakin memperindah air mancur tersebut. Mereka memandangi indahnya pemandangan itu sembari sesekali menatap bintang yang bersinar di langit malam.

“Phi, aku capek deh,” ucap Krist tiba-tiba setelah sedari tadi diam menikmati suasana.

Singto terdiam mendengar ucapan Krist barusan, entah mengapa ada rasa sakit yang tak bisa ia utarakan. Khawatir dengan Krist yang pasti masih menyembunyikan sesuatu darinya. Entah capek dalam konteks apa yang ingin diutarakan oleh Krist dengannya saat ini. Capek karena hubungan mereka atau capek karena teror yang selama ini menganggu Krist.

“Kadang aku capek, Phi. Aku merasa kenapa ada orang yang membenciku sebegininya. Sampai menerorku dalam keadaan hamil, berkali-kali anak kita dalam keadaan yang membahayakan hingga bisa saja dia tak selamat. Namun, dia sangat kuat mau berjuang menemaniku. Aku merasa bersalah dengannya karena bakal lahir dariku. Dia nanti bakal bangga nggak ya sama aku, dia malu nggak ya lahir dari seorang pria sepertiku yang mempunyai masa lalu buruk sekali. Aku takut, Phi.” Suasana sunyi itu entah mengapa membuat Krist menjadi melankolis dan berbicara ngelantur hingga berani bercerita panjang lebar dengan Singto.

Singto menghela nafas dan menoleh ke arah Krist, dia memegang kedua tangan Krist sembari mengusap dengan ibu jarinya. Berharap bisa menghantarkan tenang pada Krist-nya. Dia bisa melihat tatap mata Krist yang sendu kala menatapnya meskipun bibirnya tersenyum begitu manis.

“Sayang, mungkin aku nggak bisa berkata-kata manis seperti pasangan diluaran sana. Aku bukan orang yang sangat romantis pada pasangannya, namun aku akan melakukan apapun untuk membuatmu tersenyum dan hidup dengan nyaman. Kamu orang yang paling kuat yang pernah aku kenal, anak kita pasti bangga banget lahir dari kamu. Tak baik berpikiran yang enggak-enggak, yang penting kita sudah berusaha sekuat kita. Terima kasih sudah mau mempertahankan anak kita, aku sayang banget sama kamu. Dan untuk orang yang sering neror kamu, sampai sekarang aku nggak berhenti nyari mereka. Aku bakal cari terus sampai dalangnya ketangkap, agar kamu bisa hidup dengan tenang. Tak ada yang boleh menganggu kesayangnku.”

Krist hanya mampu tersenyum hatinya menghangat mendengar tutur kata Singto yang begitu menenangkan.

Untungnya keadaannya semakin membaik setiap harinya hingga tak membutuhkan waktu lama untuk Krist di rawat karena setelah 3 hari dirinya sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun, tentu saja ada beberapa syarat yang harus dirinya taati dari dokter agar keadaannya tak memburuk kembali.

Dan demi keadaan yang tak ingin kembali buruk hingga mengakibatkan Krist drop, Singto menyewa satu perawat khusus untuk memantau keadaan Krist selama seminggu kedepan. Awalnya Krist tentu saja protes dan merasa sikap Singto berlebihan, namun dia juga tak punya kuasa menolak itu karena semuanya dilakukan untuk kebaikan baby fiat dan juga dirinya.

“Kamu nggak kerja hari ini? Ke kantor aja, toh udah ada suster yang jaga dirumah,” ucap Krist. Mereka memang telah pulang dari rumah sakit semalam.

“Aku ke kantor nanti siang aja, kebetulan meetingnya agak sorean. Jadi, bisa nemenin kamu dulu di rumah.”

“Di rumah udah banyak orang ih, kamu pergi aja sekarang,” usir Krist.

“Loh, kok ngusir kamu. Aku kan yang pengen di rumah, pengen nemenin Fiat loh aku, Yang.” Singto semakin merapatkan diri memeluk perut Krist sembari sesekali menciuminya.

Krist yang sedang duduk bersandar di kepala ranjang hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Singto yang semakin hari semakin lengket. Apa nggak gerah ya?

“Kamu daripada rebahan gini melukin aku, mending buatin susu. Aku haus banget, Phi,” pinta Krist pada Singto.

Mereka memang belum ada yang beranjak dari bangun tidur sejam yang lalu. Masih memilih bermalas-malasan di ranjang sambil menonton televisi di pagi hari.

“Sekalian aku ambilin sarapan ya buat kita.” Belum sempat Krist mengatakan iya, Singto sudah bangkit dan menghilang dari pandangannya.

Terlihat beberapa pelayan yang sedang melaksanakan tugasnya masing-masing di pagi hari, Singto langsung menuju ke meja makan yang mana makanan sudah tertata rapi disana.

“Saya dan Krist ingin sarapan di kamar, jadi tolong bawa ke kamar ya. Dan suster obatnya antarkan ke kamar,” ucap Singto yang mana kebetulan ada suster juga disana.

“Baik, tapi saya harus memeriksa beberapa denyut dan tekanan darahnya Tuan Krist terlebih dahulu sebelum sarapan, Tuan.”

“Oh, begitu. Ya sudah ke kamar saja duluan. Krist sudah bangun kok, nanti saya nyusul setelah membuatkan susu untuknya.”

“Baik, Tuan. Saya permisi terlebih dahulu.” Sementara yang lain mempersiapkan makanan untuk dibawa ke kamar, suster tadi pergi terlebih dahulu untuk memeriksa keadaan Krist.

“Tak lama akan terjadi kehebohan lagi,” ucap seseorang yang sedari tadi bersembunyi memantau keadaan pagi hari di rumah Singto dan Krist. Entah kehebohan apa lagi setelah ini.

.
.
.
.

Hai, gimana kabar kalian? Aku harap semuanya baik-baik saja. Maaf ya kalau aku lama banget ngilangnya, setelah selesai dengan study aku pikir bisa langsung comeback buat ngelanjutin cerita2 di wattpad. Tapi, dugaanku salah. Ternyata susah juga balikin mood buat nulis setelah sekian lama hiatus wkwkwk. Tapi, setelah ini semoga aku bisa rajin ya. Terima kasih yang udah selalu ngirim semangat dan masih nungguin karyaku. Selamat membaca 😊

Jangan lupa tinggalin jejak ya, baik itu vote ataupun komen. Itu berarti banget buat aku. Thankyou

Connection Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang