Grudging

977 137 29
                                    

Berhubung votenya udah nyampe 100, makanya aku up hehe.

Ayo vote, jangan lupa!



***

Krist sedang istirahat karena terlalu lelah menangis tadi, dan menyisakan Singto sendiri yang terjaga. Dia memandangi Krist yang begitu lelap dalam tidurnya setelah makan malam. Singto sudah mengabari papa dan mertuanya untuk tidak perlu ke rumah sakit dan beristirahat di rumah saja terlebih dahulu karena kebetulan sudah ada dirinya yang menjaga Krist.

Meskipun awalnya mertuanya tak ingin menuruti Singto, namun akibat bujuk rayu dan berbagai kata-kata manis yang terlontar dari bibirnya. Akhirnya mau tak mau mereka menuruti Singto, dengan syarat kalau Singto mau pergi meninggalkan Krist harus menghubungi mereka.

Setidaknya mereka bisa bergantian menjaga Krist, jika Singto sibuk. Tak lupa Singto juga menghubungi papanya. Dan berakhir mendapat amukan karena dirinya kemarin tak bisa dihubungi sama sekali ketika Krist baru mengalami kecelakaan.

Baru menyandarkan tubuhnya dan meregangkan otot-ototnya yang kaku, sudah terdengar ketukan pintu di ruang rawat Krist.

“Masuk,” ucap Singto dari dalam.

“Siapa?” tanya Krist yang terbangun karena suara ketukan pintu dan jawaban Singto yang begitu keras hingga mengganggu tidur nyenyaknya.

Singto yang mendengar suara Krist sontak menoleh dan tidak melihat tamu yang datang. Dalam hati merutuki mulutnya sendiri karena suaranya yang pasti membangunkan Krist.

“Kok bangun, Sayang?” tanya Singto mengelus tangan pasangannya.

Krist dengan wajah kantuknya merolingkan mata dan berkata, “Kamu berisik.”

Singto menghela nafas, meskipun Krist lupa ingatan. Sayangnya, sifatnya masih sama yang mana terkadang ketus dan biasa menang sendiri.

“Ehem..,”

Deheman dari seseorang membuat mereka berdua tersadar kalau ada tamu yang berkunjung.

“Maaf, kamu siapa ya?” tanya Singto yang tidak kenal dengan tamu yang datang. Sedangkan Krist memilih bungkam karena sudah diwakilan oleh Singto pertanyaan yang ingin dirinya lontarkan.

“Ah, Anda pasti suaminya Phi Krist ya, saya Prim adik tingkatnya.” Dia menjawab pertanyaan Singto dengan senyuman yang mengembang cantik di wajahnya.

“Adik tingkat?” tanya Krist seolah melupakan hal itu.

“Loh Phi Krist lupa sama Prim, wah kok jahat banget sih. Padahal kita juga pernah pacaran juga loh sebelum Phi Krist akhirnya menikah saat itu,” lirih Prim dengan raut wajah sedih.

Singto mengerutkan dahi mendengar akhir kata yang dikatakan oleh Prim. “Mantan, Krist dulu nggak cerita punya mantan dia deh.” Batin Singto.

“Maaf, Krist mengalami lupa ingatan karena kecelakaannya.”

“Oh begitu, aku kira Phi Krist lupa denganku,” ucap Prim memegang tangan Krist.

Krist yang merasa tak nyaman dengan apa yang dilakukan oleh Prim, sontak menarik tangannya dan tersenyum canggung.

Singto yang paham akan situasi canggung ini langsung berkata, “Nong Prim, Krist lagi butuh istirahat untuk sekarang. Mungkin kamu bisa datang lain kali saja ya,”

Prim yang mendengar usiran halus itu akhirnya mengangguk. “Ya udah, lain kali aja deh. Maaf mengganggu waktu istirahatnya ya Phi Krist. Semoga cepet sembuh ya, dan bisa inget sama aku lagi.”

“Iya, Prim terima kasih,” jawab Krist singkat.

Baru Krist akan memejamkan matanya lagi, namun harus dirinya urungkan ketika ada seseorang yang mengetuk pintu kamar inapnya. “Siapa lagi sih, nggak bisa ya aku istirahat dengan tenang,” keluh Krist sambil menghela nafas panjang.

Singto yang melihat itu juga tak tega. “Kamu istirahat aja, biar aku usir tamu yang dateng.”

Singto bangkit dari duduknya, sebelum dirinya keluar dari kamar inap Krist. Dia melabuhkan kecupan di kening pasangannya dan berkata, “Selamat istirahat, Sayang.”

Krist yang kaget dengan perlakuan Singto melipat bibirnya ke dalam. Dan jangan ditanya, rasanya pipinya sekarang agak terasa panas. Antara malu dan terkejut yang menjadi satu. Untungnya Singto tidak melihatnya pasti karena dia sudah keluar dari kamarnya.

“Singto, sialan!” gerutu Krist sambil mengibaskan tangan diwajahnya berharap wajahnya tidak panas.

Sedangkan Singto ketika sampai di luar matanya membola ketika melihat siapa orang yang ingin menjenguk Krist. Dengan gerakan kasar, Singto menarik tangannya dan membawanya pergi jauh dari depan kamar Krist karena Singto tak ingin Krist mendengar ucapannya nanti.

Ketika di rasa sudah agak jauh dari ruangan Krist, Singto menghempaskan tangan yang dirinya tarik tadi. “Mau  apa kau kesini, dan lagi kau tahu dari siapa kalau aku disini?” tanya Singto dengan sorot mata yang begitu tajam menatap lawan bicaranya.

“Santai saja, Sing. Kamu kenapa emosi sih,” jawabnya dengan wajah senyuman penuh tipu muslihat.

“Isabel!” geram Singto.

“Aku tahu dari sekretarismu katanya kau di rumah sakit menjaga pasangamu yang kecelakaan. Aku kesini cuma mau jenguk dia kok, sekalian bilang hubungan kita.” lanjut Isabel dalam hati.

Singto membuang nafas kasar. “Berapa kali aku harus bilang ya Isabel, kita udah nggak ada hubungan sekarang. Jadi, untuk kali ini aku minta tolong dengan sangat jangan ganggu rumah tanggaku. Dan juga bilang sama ayahmu kalau kita itu nggak balikan!”

“Aku nggak tega kalau Daddy tahu, dia pasti akan sangat kecewa.” Isabel menggelengkan kepalanya dengan wajah sedih.

Sayangnya Singto tidak termakan dengan hal itu kali ini. “Aku nggak mau tahu, itu urusanmu dengan ayahmu. Siapa suruh bicara nggak pakai otak,” ucap Singto dengan kata-kata pedas di akhir.

“Jangan pernah temui Krist, camkan itu!” setelahnya Singto langsung meninggalkan Isabel yang sekarang sedang tersulut emosi. Seolah di kepalanya sekarang ada dua tanduk merah.

“Awas kau Krist, aku nggak akan tinggal diam. Hanya aku yang bisa milikin Singto. Dan andai aku nggak bisa milikin dia, berarti kamu juga nggak bisa. Kamu harus mati,” desis Isabel penuh emosi.

Singto balik ke kamar inap Krist, namun sebelum masuk ke dalam ruangan Krist dia menelfon seseorang terlebih dahulu. “Kirim dua bodyguard ke sini,” ucap Singto dan langsung memutuskan sambungan itu secara sepihak. Dan setelahnya dia langsung masuk ke dalam.

Tanpa Singto sadari, sedari tadi ada beberapa orang yang memperhatikannya, dan melihat perdebatan antara Singto dan Isabel juga.

“Wah, makin menarik nih.”

“Bisa diajak bersekutu kayaknya wanita tadi, Boss.”

“Jangan dulu, kita lihat tindakannya bisa sejauh apa. Kalau memang dia berani seperti apa yang diucapkan, baru nanti kita bertindak.”

Entah siapa mereka yang sedang mengobrol dan mengamati itu, namun sepertinya mereka mempunyai niat yang buruk.

.
.
.
.

Weh, mantannya Krist muncul nih wkwk.

See you next chapter.

Connection Of Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang