6. Ingin

6.7K 530 18
                                    

Mentari yang menyingsing dan memancarkan cahayanya kian meredup seiring berjalannya waktu.

Empat hari telah berlalu sejak kejadian itu, dimana ia melihat sosok yang ia yang akhirnya ia yakini sebagai sosok suaminya-Guanlin.

Dan selama empat hari itu juga, Guanlin tak pulang kerumah bahkan notif pesan darinya saja tak ada.

Sore ini Renjun hanya berdiri termenung pada taman sembari menyirami tanaman-tanaman yang ada disana, dirinya diam termenung tetapi pikirannya jauh melalang buana entah kemana.

Tak lama, terdengarlah suara deru mobil dari arah depan sana. Mendegar suara mobil yang bisa ia pastikan bahwa suara mobil itu berasal dari suara mobil sang suami, Renjun dengab cepat mematikan kran dan bergegas untuk membukakan pintu bagi suaminya.

Renjun membuka pintu dengan sedikit rasa gugup yang terselip dihatinya, dan dengan ragu-ragu ia langsung saja membuka pintu utama dan bertepatan juga dengan Guanlin yang hendak membuka pintu.

Dengan tatapan tajam nan datar darinya, berhasil membuat Renjun tertunduk dan sedikit bergeser untuk memberinya jalan.

"Dari mana saja?"

Guanlin yang awalnya tengah berjalan dan melonggarkan ikatan dasinya langsung menghentikan langkahnya.

"Bukan urusanmu" Jawabnya sarkas tanpa berbalik guna menatap Renjun yang kini tengah menatapnya.

"Tapi aku istrimu" Ujar Renjun lirih.

"Cih! Kau jangan sok peduli padaku dasar Huang..." Guanlin berbalik menatap Renjun, "Kau memang berstatus sebagai istriku dan aku berstatus sebagai suamimu! Tapi kau tak berhak atas diriku! Paham?!"

Setelah mengucapkan deretan kata yang mampu membuat hati Renjun sakit, ia langsung pergi begitu saja tanpa memikirkan apa yang Renjun rasakan atas perkataan yang ia lemparkan begitu saja.

"Oh... Begitu rupanya, hahha" Tawa Renjun miris.

Menutup pintu, kemudian kembali kehalaman belakang untuk melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.

Cahaya yang menghiasi langit sore kini tergantikan oleh cahaya rembulan yang menghiasi pekatnya langit malam ditemani oleh beberapa kerlap-kerlip bintang.

Renjun kini tengah sibuk sendiri pada dunianya, tengah mempersiapkan makan malam pada meja makan.

"Nah sudah"

Setelah telah selesai mempersiapkan makan malam, ia segera melangkahkan tungkainya hendak mendatangi Guanlin dan mengajaknya untuk makan malam.

Namun saat baru saja berada diambang pintu dapur, kedua tungkainya berhenti begitu saja saat melihat Guanlin yang tengah menuruni tangga dengan pakaian formalnya.

"Mau kemana?" Tanya Renjun.

"Bertemu dengan client" Balas Guanlin singkat

"Tak mau makan malam dulu?" Tanya Renjun lagi.

"Aku akan makan malam bersama client, lagi pula aku sudah mengatakan hal itu berkali-kali padamu untuk tidak melakukan hak tak berguna itu untukku... Lakukan saja hal itu untukmu, aku pun tak sudi jika harus memakan hasil masakanmu"

DEG!

Mata Renjun berembun seketika, sebegitu bencinyakah Guanlin padanya? Sampai-sampai ia tega mengatakan hal itu dengan entengnya tanpa menimbangnya terlebih dahulu apa dampak atas perkataan yang ia lontarkan begitu saja.

"Makanlah sendiri dan jangan menungguku untuk pulang" Lanjut Guanlin kemudian menghilang sepenuhnya dari balik tembok.

Rasa sakit kian menjalar dihatinya, apakah ia tak seberguna itu? Apakah ia memang tak pantas dan berhak atas Guanlin seorang? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang terus berputar memenuhi kepalanya.

Dengan senyum tipis ia melangkahkan kembali tungkainya dan duduk pada bangku meja makan, seperti biasa... Masak dan makan sendiri, mungkin itu akan selalu menjadi rutinitasnya.

"Tak apa Renjun, lupakan saja" Gumamnya menyemangati diri sendiri.

Bohong jika ia tak sakit hati, buktinya saja kini ia menangis dalam diam. Ia sebenarnya ingin menceritakan hal apa yang telah ia lewati selama bersama Guanlin kepada seseorang yang bisa ia jadikan sandaran baginya, namun tak ada seorang pun yang mampu menjadi sandarannya.

Bahkan para sahabat-sahabatnya sekalipun.

Ingin sekali sebenarnya ia menceritakan banyak hal kepada para sahabatnya, namun yang menjadi tempat ternyamannya untuk bersandar hanyalah hembusan dan semilir angin malam.

Setelah makan malam dan membereskan berbagai hal didapur, ia kemudian berjalan menuju kamarnya dengan lesu.

Ia mengambil ponselnya kemudian membuka galeri, terus memandang sebuah foto ia dengan seseorang yang tengah merangkulnya dengan wajah yang menampilkan senyuman tulus tanpa paksaan.

Tanpa terasa, kini setitik demi titik air mata menetes membasahi kedua pipinya.

"Bisakan aku bertemu dengannya lagi? Hanya dia yang bisa menjadi sandaranku"

Menurutnya, foto itu adalah foto yang begitu bermakna baginya. Bagaimana ia bisa merasa kembali kemasa lalu dimana jemari lentik itu membelai surai lebatnya dan selalu memberikan segala kasih sayang yang ia butuhkan dengan percuma.

"Aku rindu... Bisakah kau kembali?" Lirihnya.

Dirinya ini sebenarnya membutuhkan seoranh yang bisa dan sanggup menjadi sandarannya, tak lebih.

Tapi entah mengapa, perlahan hatinya hancur setelah mengetahui bahwa orang yang selama ini ia yakini dapat menjadi sandarannya selain seorang lainnya yang telah pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Ternyata hanya menerimanya dengan terpaksa, bukan seperti perkataannya dahulu.

"Apakah ia bisa berubah?" Gumamnya bertanya pada sepinya ruangan.

"Aku ingin dirinya kembali seperti dulu hiks..." Lanjutnya.






Tbc~

Ohoy apdet nih, maaf lama baru update lagi soalnya agak sibuk mwehhehe.

Maaf juga mungkin seperti kurang nyambung, ah bukan ini memang sudah tak nyambung.

Dan juga typo, maaf.

Voment dong biar aku lebih semangat buat nulisnya dan biar cepet update juga hehhe, tak mau juga tak apa.

*Sorry for typos*

Tertanda :
Sabtu, 28 Mei 2022
09:27

Cukup || GuanRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang