Manik indah itu menatap keluar jendela, tatapan yang menyiratkan beribu-ribu rasa sedih dan pertanyaan disetiap detiknya.
Didepan sana, ada cermin besar yang entah mengapa kebetulan ia bisa melihat pantulan bayangannya.
Ia terkekeh, ditubuhnya begitu banyak luka-luka lebam dan luka terbuka. Ia selalu bertanya dalam hidupnya.
Apakah memang ia tak pantas hidup hingga mendapatkan ini semua? Pertanyaan itu selalu ada dalam benaknya.
Ia turun dari jendela dimana ia mendudukkan dirinya selama berjam-jam disana, menghampiri kaca tersebut kemudian terkekeh.
"Sebegitu tak pantasnyakah diriku?" Tanyanya disertai kekehan diakhir.
Tapi seketika setelahnya, kekehan itu hilang digantikan oleh isakan-isakan kecil serta cairan bening dari kedua pelupuk matanya.
Ia menangis lagi lagi dan lagi saat melihat dirinya pada pantulan cermin.
Ia mematut dirinya begitu lama dicermin, lebam dimana-mana yang menyebabkannya takut bahkan tak berani sekalipun untuk keluar dari kamarnya.
Bahkan Maid selalu memberikannya makanan didepan pintu tetapi ia hanya makan sedikit saja, tak napsu hanya untuk sekedar makan.
Ia menatap leher, wajah, serta lengannya yang penuh dengan lebam pada pantulan kaca dihadapannya. Menurutnya ditiga bagian itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan punggungnya yang penuh akan bekas cambukan.
Ingin rasanya ia berteriak pada semesta mengapa jalan hidupnya seperti ini, ia kira jalannya akan selalu mulus dari awal hingga saat ini.
Tapi, semua itu salah.
Ternyata benar apa yang diucapkan oleh Bundanya dulu.
"Hidup itu mengajarkan kita tentang lika-liku, hidup tak selalu mulus tak seperti apa yang kita bayangkan. Tuhan tahu semuanya... Dan Tuhanlah yang mengatur segalanya, baik hidupku, hidupmu, dan alam semesta...
... Jadi, kamu harus kuat untuk menjalaninya jika masa itu tiba... Bunda selalu yakin kau bisa untuk melewatinya"
"Masanya telah datang yah? Aaah... Aku tak menyadarinya" Monolog Renjun menggulung lengan bajunya hingga beberapa lebam yang awalnya tak terlihat, kini terlihat dengan jelas.
Ia membalikkan tubuhnya kemudian sedikit mengangkat baju bagian belakangnya. Lebam kehitaman dengan beberapa luka terbuka lainnya ada disana.
"Masih sama ternyata" Gumam Renjun setelah melihat bayangannya dicermin kemudia kembali menurunkan bajunya.
Helaan napas terdengar, kepalanya tertunduk. Menatap lantai serta kedua tangannya yang terdapat beberapa luka lebam disana.
Luka-lukanya cukup parah, kalau semisalnya ia ditanya apakah sakit? Pasti ia akan menjawab tidak tidak dan tidak entah karena apa itu.
Itupun kalau ada yang melemparkan pertanyaan yang bersangkutan dengan luka-lukanya itu padanya.
Nyatanya tidak, tak ada yang peduli padanya selain keluarga kandungnya sendiri.
Ingin rasanya ia saat ini pulang. Tapi ia tahu, ini.bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan hal tersebut. Ia tak punya hak, ia tak punya hak akan itu.
Sudah seharusnya ia ikut dengan pria yang berstatus sebagai Suami-nya, namun apa salahnya juga ia pulang sebentar bukan? Tapi pasti setelah ia kembali lagi kebangunan ini, pasti akan ada luka baru diatas luka lama yang belum sepenuhnya menghilang.
Lamunannya buyar, kala ada suara ketukan pintu. Ia tampak berpikir sebentar sebelum akhirnya berjalan mendekati pintu tersebut.
Hanya mendekat, tak berniat membukakan pintu untuk sang pengetuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cukup || GuanRen
Fanfiction"Akh!.. Maaf" Lirihnya setelah kepalanya teratuk cukup keras pada sudut meja yang ada diruangan dengan penerangan yang minim itu. Darah segar segera mengalir dari belakang kepalanya hingga leher, hingga sampai mengotori switer putih yang tengah ia k...