47. Hanya Rindu

3.5K 301 21
                                    


















'~Happy Reading's~'


























Dirematnya selembar surat pada genggamannya itu hingga tak berbentuk. Emosinya membuncah, ia naik pitam setelah membaca sederet demi deret tulisan pada secarik kertas putih tersebut.

Bukan anaknya.

Tiada DNA yang pas dengan dirinya, semuanya palsu. Tiada kepastian dan kebanaran dalam tiap untaian kata yang terangkai kala itu.






Tangan Jaemin terulur, mengambil tangan kurus milik kakaknya kemudian menariknya dipipinya.

Menaruhnya membiarkan rasa nyaman perlahan menjalar pada wajahnya.

Dua sudut bibir itu terangkat walau tidak seberapa, menciptakan senyum kecil walau kini linangan bening kini jatuh melewatinya.

"Apakah kau tak ingin bangun Kak? Sebentar lagi hari wisuda, hari wisuda yang paling kutunggu-tunggu akan datang... A-aku berharap kau hadir disisiku, aku ingin melihat senyumanmu ketika aku akhirnya melempar topi toga itu diantara udara"

Dirematnya sedikit tangan yang seolah hanya tinggal kulit dan tulang yang tersisipkan sedikit daging disana. Ia hanya ingin menahan emosinya, ia tidak mau menangis untuk malam ini terlebih dihadapan sang kakak yang masih belum juga kunjung membuka manik indahnya kembali.

"Kenapa aku menangis? Astagaaa" Monolognya sembari menghapus sisa-sisa air matanya.

Dipandangnya lagi wajah itu, wajah pucat cantik yang sangat mirip dengan sosok yang kini hanya ada dibalik kaca.

"Kakak mirip Bunda, tapi tolong jangan berakhir seperti Bunda... Cukup Bunda, jangan lagi..."

"Kakak kuat yah? Bisa menyembunyikan semua hal yang mengejutkan itu dengan Serapi mungkin hingga seorangpun diantara kita tidak ada yang tahu menahu soal itu. Sakit yah? Maaf..."

Senyum manis itu tercipta, berusaha terlihat bahagia walaupun yang terjadi ialah sebaliknya. Ia hanya ingin bahagia, tapi tidak dengan linangan yang memutuskan segalanya.

Air mata itu masih mengalir, namun kekehan kecil keluar dari mulutnya kemudian. Sebuah momen tiba-tiba saja melintas dalam memori ingatannya.

Memori yang menggambarkan saat dulu ia memohon agar dirinya dapat masuk difakultas jurusan kedokteran pada sang Bunda kala itu.

Salah satu kenangan yang berharga baginya, kenangan saat kedua wajah bak rubah yang sangat cantik itu tersenyum menertawakan dirinya yang tengah menangis tersedu-sedu.

"Huuaaaaaa Bunda aku tidak mau"

Suasana rumah yang luas itu kini menjadi sedikit ramai dengan tangisan sang bungsu yang telah terjadi sejak subuh hari tadi.

"Kenapa tidak mau? Itukan bagus Nak, Bunda yakin Bunda tidak salah pilih untuk masa depanmu"

"Aku tidak mauu-u hiks Bundaaa"

Greb

Dipeluknya kaki jenjang sang Bunda, berusaha menahan agar wanita cantik itu tidak melangkah lebih jauh lagi darinya.

"Eh eh eh"

"Hiks Bunda tidak mauuu... Tidak mau komunikasi, tidak mau"

Pemuda manis yang masih berusia sekitar tujuh belasan itu terus menggeleng dengan deraian air mata yang membuat siapapun yang melihatnya merasa gemas bukan main.

Cukup || GuanRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang