52. Akhir Yang Sesungguhnya

5.1K 220 12
                                    






Linangan

Linangan

Linangan

Dan...

Linangan.

Kini berjatuhan, silih berganti dan saling berburu untuk jatuh terlebih dulu pada gundukan tanah dihadapannya.

Bingkai foto yang semula ia bawa seolah tak berdaya kini ia peluk dengan begitu eratnya.

Emosi, hasrat ingin berteriak sekeras-kerasnya, isakan, sesal, sesak, semua itu masih berusaha ia pendam sebisa mungkin.

Linangan itu semakin banyak hadir saat peti kayu berisikan orang yang begitu ia cintai turun secara perlahan, masuk kedalam liang lahat tepat dihadapannya.

"Renjun..." Lirihnya.

Greb

"Kau ingin menangis bukan? Menangis lah Guan, ibaratkan jika semua ini hanyalah mimpi belaka" Ujar Mingyu sembari memeluk tubuh lemas salah seorang sahabat karibnya itu.

Dengan pelukan serta kata-kata itu, kini isakan demi isakan yang terdengar menyayat hati kini mulai terdengar ditengah upacara pemakaman tersebut.

"Aku menyesal... Aku ingin dia kembali" Racau Guanlin.

"Lepaskan, dia tak akan pernah kembali lagi" Ucap Jun sembarienepuk bahu rekannya itu.

"Aku telah mengatakannya padamu berkali-kali tapi kau tak ingin mendengar" Ujar Mingyu sembari tatapannya terus terarah pada peti mati yang kini telah berada ibawah sana.

"Sudahlah bung jangan terus seperti ini, dia telah pergi... Lepaskan" Ujar Junhui.

"Ikhlaskan dia, relakan Guan... Relakan" Ujar Hyunsuk mencoba sedikit menenangkan sahabatnya itu.

"Aku tak bisa hiks... Aku tidak rela Hyun... Aku tidak bisa"

"Dia sudah tenang Lai, dia sudah tidak merasakan sakit lagi" Timpal Jun.

"Tidak Jun... Dia masih hidup!"

Dari arah belakang sana kini Joshua datang menghampiri, menepuk salah satu bahu dari beberapa kawannya kemudian memberi isyarat dengan anggukan.

Langit kini telah mendung dan semakin menghitam, yang pasti akan segera menumpahkan tangisnya sebentar lagi.

"Ikhlaskan dia Lai, jangan terbelenggu dalam kegelapan tanpa arah" Ujar San kemudian pergi bersama yang lainnya.

Orang-orang kini telah pulang, meninggalkan dirinya sendiri dihadapan segunduk tanah yang masih basah dengan pelengkap pemanis bunga-bunga segar yang bertebaran tepat pada permukaannya.

Sedari tadi ia hanya diam, setengah jiwanya seakan telah pergi entah kemana. Orang yang dulu ia ikat dengan janji suci kini telah diambil oleh sang pencipta.

Air mata itu masih mengalir dari maniknya, dengan mata teduhnya ia kemudian berjongkok. Meletakkan bunga daffodil kuning dan kembali menangis dengan deras untuk kesekian kalinya.

Renjun kini telah pergi, meninggalkannya dengan beribu kenangan yang membekas dalam benak terdalam.

Renjun pergi, secepat itukah? Apakah tak ingin berlama-lama sedikit? Ada banyak orang yang menyayanginya disini.

Kenapa dia harus pergi?

"Ren maafkan aku maafkan aku-"

Tes

Yah.

De Javu.

Keadaan ini sama persis seperti mimpi pertamanya dalam mimpi berlapis-lapis itu. Kata-kata yang sama, kondisi yang sama, dan latar yang sama.

"Maaf Ren maafkan aku"

Bruk

Pria dengan tinggi semampai itu kini ambruk, hanya dapat berlutut dengan derai air mata tepat disisi sebuah gundukan tanah yang nampak masih basah.

"Aku salah hiks maaf"

Air itu turun, membuat segunduk tanah yang sebelumnya telah basah kini semakin basah dan membawa warna tanah itu mengalir pada pemuda yang kini tertunduk dengan sebuah bunga kuning pada genggamannya.

Daffodil.

Bunga kuning yang menggambarkan bagaimana cerianya dulu yang ada didalam peti itu kini yang berakhir layu, karena tempatnya sebagai pijakan berpindah tak menepati janji yang telah mereka buat dan sepakati.

Banyak orang bilang daffodil adalah lambang dari keberuntungan. Namun nyatanya tidak, keberuntungan itu tidak berlaku karena ia tidak berada pada tempat yang seharusnya.

"Ini semua salahku"

Dua air yang beradu dan berakhir pada bumi yang dipijak. Ia menyesal, karena dengan keputusannya ini semua terjadi, hanya dalam satu kalimat pada malam itu yang berhasil meluluh lantakkan segala harapan yang ada akibat sebuah harapan yang tertinggal.

Berakhir dengan berita duka yang menyakitkan, mematahkan, dan seolah-olah mengambil separuh jiwa dalam tubuhnya.

"Aku menyesal, kenapa kau tak mengatakan semua itu padaku Ren? Mengapa!? AAAAAAAAAAA!!!!"

Dibawah pohon dengan segunduk tanah dihadapannya itu, pria bermarga Lai tersebut terus saja terisak dan terisak, sembari sesekali berteriak guna mengeluarkan dan melepaskan emosi yang membelenggu akibat pria manis yang kini hanya tinggal nama dan kenangan semata.

"Maafkan aku hiks... Kumohon maafkan aku Ren maafkan aku! Maaf karena aku menjadi takdir terburuk dalam hidupmu, seharusnya kau bahagia bukan seperti ini yang penuh pilu dan derita... Tuhan salah memberimu penjaga, maaf dan selamat tinggal...

















Lai Renjun"





























Dan inilah akhir, akhir dari segalanya.






























Tertanda :
Jum'at, 8 Desember 2023
23.10

Cukup || GuanRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang