Dinda telah selesai dengan kue buatannya di atas meja kayu dan siap diantar ke rumah pelanggannya. Sudah setahun ini dia membuka bisnis kecil-kecilan yang dia pasarkan lewat media online yang dia punya. Memanfaatkan ponsel pintarnya meski bukan keluaran terbaru, untuk mencari pundi rupiah agar kebutuhan hidup dia dan adiknya terpenuhi. Mereka hanya tinggal berdua saja semenjak neneknya meninggal beberapa bulan lalu.
Dua gulung Japanese roll cake telah terbungkus cantik dalam box dengan tutup transparan, lalu dia satukan dengan empat box yang lainnya di sudut meja.
"Alhamdulillah." Senyumnya mengembang cantik dengan sepasang mata berbingkai kacamata yang terlihat menyipit. "Antar pesanan dulu lalu ke rumah Bi Lela," putusnya. Kemudian hasil karyanya itu dia masukkan ke dalam totebag besar untuk kemudian dia antar ke rumah pemesannya yang masih satu komplek dengan rumah sewanya itu.
Mengunci pintu lalu menuju sepeda berwarna pink dengan keranjang di bagian depannya. Setelah totebag dia letakkan di sana, wanita bernama lengkap Adinda Humaira Ulin Nuha itu mulai mengayuh sepedanya. Gamis lebarnya tak membuatnya repot menggerakkan kakinya agar kendaraan roda dua itu tetap melaju.
"Hai, Mauwi!" Sapanya pada seekor kucing milik tetangganya yang tengah rebahan di atas pagar rumah pemiliknya.
Gang demi gang dia lewati dan akhirnya satu persatu kue telah diterima oleh pemiliknya. "Satu rumah lagi," ucapnya penuh semangat.
Uang yang didapatnya memang tak seberapa, tapi rasa syukur tak lelah dia ucapkan pada Sang pemilik hidup karena dia hidup dengan cukup.
"Adinda!" Seru seorang pria yang mengenakan sarung dan berkoko lengkap dengan pecinya.
Rem tangan telah menghentikan laju sepeda itu, lalu Adinda pun turun. "Assalamu'alaikum, Kak. Ada apa, ya?"
"Wa'alaikumussalam," jawab pria itu seraya berjalan mendekat. "Abis nganter kue, ya?"
"Iya. Ini mau ke rumah Kak Amir juga. Ibu kakak pesan kue lagi."
"Oh, barangkali kue itu untukku. Buat bekal."
"Memangnya Kak Amir mau ke mana?"
"Ke Surabaya. Ada kerjaan di sana selama dua minggu. Titipin ke aku aja kuenya. Sudah dibayar belum?"
Adinda mengangguk lalu mengambil kue yang tersisa. "Sudah. Makasih sebelumnya ya, Kak." Kue pun berpindah pada pria berkulit putih dan berjenggot tipis itu. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa tadi manggil aku ya, Kak?"
Amir tersenyum lalu menunduk. Barangkali kali mencari nyali yang mungkin akan dia dapatkan jika mengalihkan pandangannya sebentar dari wanita cadel di depannya itu. "Aku ada perlu sama kamu, jika kerjaanku sudah selesai dari Surabaya nanti."
"Oh. Tapi soal apa, ya? Apa ada kaitannya dengan TPA?" Pertanyaan Adinda terkait kegiatan di masjid dekat rumahnya untuk belajar dan mengaji anak-anak jalanan bersama Amir dan juga beberapa teman mereka di akhir pekan.
"Bukan. Ini soal lain. Nanti saja kalo sudah waktunya, aku akan datang ke rumah kamu. Aku pergi dulu. Oh iya, kue-kue kamu sangat enak. Aku sangat menyukainya." Amir pun melewati Adinda lalu menghilang di ujung gang.
Tak ambil pusing dengan pertemuannya dengan Amir, Adinda pun bergegas untuk mendatangi rumah wanita baik hati yang akan mengantarkannya ke rumah yang akan menjadi ladang mata pencahariannya sebagai asisten rumah tangga.
***
"Nyonya Besar orangnya baik. Kamu cuma harus waspada, dan berbesar hati sama cucu tertuanya. Namanya Aji. Dia duda yang berwatak keras dan sulit."
"Sulit apa, Bi?" Adinda bertanya pada wanita tua bertubuh mungil yang dia bonceng di sepeda pink-nya. Mereka dalam perjalanan menuju rumah besar milik keluarga Samara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...