Ini Buruk

2.4K 377 25
                                    

Setelah kabur dari pesta malam ini, langkah Baim seperti diburu dan dahinya mengalir keringat meski kini sudah angka sepuluh pada arloji mahalnya. Meremas rambut hitamnya berulang tanda dia tengah cemas akan sesuatu.

"Ya ampun, Zein." Nama itu terus diulangnya seiring langkahnya yang memburu. Lorong rumah sakit adalah saksi betapa cemasnya pria itu. Segera dia panggil seorang perawat yang berpapasan dengannya. "Suster, anak SMA korban pemukulan di taman tadi, dirawat di mana?"

"Oh, lorong ini anda lurus saja. Kamarnya nomor dua dari ujung di sebelah kanan."

"Tunggu!" cegah Baim saat wanita berseragam tenaga medis itu hendak melangkah pergi. "Boleh saya nanya keadaannya dulu? Apa dia sangat terluka? Sungguh, saya agak takut masuk ke dalam sana. Dia sudah seperti adik bagi saya. Takut nggak kuat melihat keadaannya."

Perawat itu menahan senyumnya. Ada rasa prihatin yang tersulut tapi di sisi lain ekspresi Baim sangat ingin membuatnya terkekeh. "Dia baik. Masih bisa anda ajak ngobrol dan bercanda. Dia ditolong tepat waktu."

"Oh, gitu ya?" Baim mengusap tengguknya. Tiba-tiba dia merasa dirinya telah bertingkah aneh. "Syukurlah. Terima kasih, Suster." Ucapan terima kasih itu mengawali lari kecilnya. Wajah pemuda yang sudah dia anggap sebagai teman rasa adik baginya itu terus saja terngiang.

Seseorang mengabarinya perihal Zein yang dikeroyok oleh beberapa orang di taman lewat ponsel anak itu. Dia tak bisa berkata apapun selain agar Zein diberi perawatan terbaik dan dia akan datang secepatnya.

"Dia tadi dikeroyok dan tidak sadarkan diri, Pak. Untung saja, ponselnya tidak disandi, jadi saya hubungi anda sebagai orang yang terakhir dia hubungi. Kami membawanya ke rumah sakit, datanglah segera!"

Baim menelan ludah sebelum membuka pintu di depannya, nafasnya pun diatur dulu agar cemasnya terurai. Meski apa kata perawat tadi sempat membuatnya lega beberapa detik.

Ragu, tapi akhirnya dia buka pintu dan melangkah masuk. "Assalamu'alaikum, Zein."

Tak ada jawab, Baim pun masuk. Brankar lah yang dia tuju. Perlahan namun pasti wajah terlelap Zein membuat nafasnya terhembus lega pada akhirnya. "Kok bisa bonyok gini sih? Nggak jago berantem ya, kamu?" tanya Baim pada si pasien yang tengah tidur. "Kamu cuma tidur, 'kan? Bukan koma?"

Harusnya Baim tahu, jawaban tak akan dia dapatkan dari orang yang tengah terlelap. "Tadi rasanya aku mau henti nafas tahu, nggak? Sampai ngabarin si Aji aja nggak kepikiran. Zein, kamu udah jadi penting buat aku. Jadi, cepatlah baik. Katanya minggu ngajakin futsal? Malah jadi pasien akibat dikeroyok orang."

Hening pun menyeruak karena Baim fokus pada luka lebam dan kain kasa di wajah pemuda enam belas tahun itu. Hingga pikirannya mengajaknya berbuat jahil karena telah menunggu Aji yang tak kunjung datang saat tadi di pesta. "Aku malas kasih kabar ke Aji. Biarin dia bingung cari kamu."

Pria itu pun duduk di kursi lalu duduk dan menyandarkan punggung lelahnya di sana. Nampak sekali dia kelelahan. Tak lama, matanya terpejam dan alam mimpi pun dimasukinya. Dia benar-benar tak berniat memberi kabar pada sahabatnya yang tak sadar bahwa adik iparnya tak sedang terlelap di kamarnya.

***
Pagi menjelang, setelah malam panjang yang dibubuhi beberapa adegan drama di pesta, selain ucapan selamat untuk pernikahannya tentu saja. Aji tak ingin ambil pusing perihal mamanya yang tak restu atau wajah sendu mantan istrinya, juga sekedar menyapa Kapolsek, ayah dari Danendra. Semua itu tak lebih menyenangkan dari melihat wajah terlelap wanita yang kini dia sebut istri.

Aji usap lembut pipi kemerahan Adinda dengan jempolnya. Gerakan yang perlahan itu tanda dia ingin mengusik istrinya dengan penuh kasih sayang. Sebuah gerakan kecil pun dia dapati dari wanita yang rambut panjangnya menjadi corak abstrak di bantal putih yang menyangga kepalanya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang