Masayu Dan Kiara

3K 398 53
                                    

Ditugaskan mengantarkan makanan ke kantor Aji, itulah yang membuat Adinda ada di pelataran bangunan di mana pria itu menjadi pimpinannya. Gadis bergamis hitam dengan kerudung warna senada itu menghampiri satpam yang sedang berjaga. Niat hatinya ingin menitipkan paper bag berisi makanan itu untuk tuannya.

"Assalamu'alaikum, Pak. Maaf saya mau izin bertanya. Apa Tuan Aji ada di dalam?"

Pertanyaannya tak serta merta dijawab oleh pria berbadan besar dihadapannya itu. Yang ada malah dia kini sedang diamati mulai dari kepala hingga ujung kaki.

"Kamu siapa?" tanya pria berseragam itu pada Adinda yang justru menanggapinya dengan ringisan.

"Saya suruhan dari rumah beliau untuk mengantarkan makan siang," Adinda mengangkat tinggi tas kertas yang dibawanya agar si satpam percaya.

"Saya nggak percaya. Sebelumnya nggak pernah ada yang mengantarkan makanan buat Pak Aji. Kamu bohong, ya?"

Pintu kaca di dekat keduanya berdiri tiba-tiba terbuka otomatis, berarti ada yang akan lewat. Benar saja, Aji lah yang melintas dengan beberapa pria yang terlihat berpenampilan sama seperti Aji, dengan setelan jas dan sepatu mengkilapnya.

"Tuan!" Adinda berseru. Aji yang tadinya nampak tersenyum bersama koleganya, berubah ekspresi seketika lalu berdecak kesal setelah melihat juru masak di rumahnya itu.

"Ngapain kamu?!" tanya Aji setelah mempersilahkan pria-pria yang bersamanya untuk pergi lebih dulu.

"Disuruh antar makan siang buat Tuan."

"Nggak perlu! Kasih satpam aja!"

Sombong benar ini orang.

"Ya, udah. Ini, Pak." Adinda memberikan tas kertas itu untuk pria yang tadi dia tanyai. "Mungkin ini rejeki, Bapak. Lumayan, uang makan siang bisa buat jajan anak Bapak." Adinda pun membungkuk sopan lalu undur diri, sementara pria yang menerima paper bag nampak sungkan pada pria berkedudukan paling tinggi di gedung itu. "Saya izin pulang. Nanti akan saya sampaikan ke Nenek, seperti apa adanya." Adinda pun melangkah untuk menjauh.

"Heiii!" seru Aji.

Adinda tetap berjalan dan tak menengok meski dia sadar betul dialah yang tengah dipanggil 'hei' oleh Aji.

"Cuma pembantu aja sombong benar kamu!"

Stop! Adinda pun berbalik dan bertutur kata lembut dan sopan seraya menundukkan pandang. "Asal Anda tahu saja, Tuan Aji. Sombong kepada orang sombong itu sedekah. Lagi pula nama saya bukan, 'hei'. Saya mau pulang. Permisi, Tuan."

Aji hanya bungkam, dan tadinya ingin membiarkan Adinda lepas. Tapi ada sebuah mobil yang dikenalinya berhenti tepat di depannya. Hingga kaki panjangnya segera berlari menjauh dari mobil itu bahkan sebelum pintu mobil itu terbuka. Adinda adalah tujuannya. Gadis itu sudah masuk ke sebuah taksi, lalu Aji ikut masuk melalui pintu yang lain.

"Tuan? Ngapain?" Adinda beringsut menepi sampai mentok ke pintu. Seketika kengerian akan perkataan Lela terngiang di otaknya yang biasanya selalu berpikir baik itu.

"Jalan, Pak!" titah Aji pada sopir taksi.

"Tunggu, Pak!" kali ini titah Adinda. "Saya mau turun," ucapan gadis itu dibarengi dengan tangannya yang akan membuka pintu. Dia harus cepat sebelum mobil itu mulai melaju.

"Kenapa turun?" tanya Aji dengan ekspresi tidak sukanya.

"Karena Tuan ikut naik. Saya akan cari taksi yang lain saja."

"Kamu jijik sama aku?"

"Hah?" Pikiran Adinda bahkan nggak sampai ke situ. "Bukan begitu, tap--"

"Jalan, Pak! Nanti aku bayar dua kali lipat."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang