Cinta Di Ujung Rindu 1

504 32 1
                                    


Satu

Delapan tahun hidup di negeri Fir'aun, akhirnya Zein putuskan pulang ke Indonesia setelah merasa cukup usianya untuk menikah. Selain memang kupingnya sudah panas diolok oleh Ibrahim Alatas. Pria yang menjadi penyebab dirinya harus tinggal jauh dari kakak perempuannya.

Bergelar S2 di usianya yang ke dua puluh empat tahun, isi rekeningnya juga gendut meski bekerja baru setengah tahun. Memang, meski tak bekerja pun uang sakunya melebihi gaji karyawan di perusahaan besar. Akibat dia rajin menabung dan tak suka jajan sembarangan, uangnya menumpuk hingga sepuluh digit di rekeningnya.

"Aku sedang ingin sarapan dengan masakan Kak Dinda, Chef. Jangan tersinggung, ya." Zein utarakan keinginannya lewat telepon pada Rano yang tadi malam sudah bertanya ingin dimasakkan apa.

Dua hari lalu Zein baru saja balik ke Indonesia dan Rano pun ikut serta. Tapi Rano tak ikut tinggal di rumah Aji. Juru masak itu tetap tinggal di keluarga Alatas.

"Baiklah, Tuan Muda."

"Mm, bisa nggak, Chef? Panggilan Tuan Muda itu dihilangkan saja. Semalam Kak Dinda protes karena panggilan itu."

Di ujung sana Rano tergelak. "Kakakmu bisa meminta pada Nyonya jika ingin saya berhenti menggunakan panggilan itu. Dia yang menggaji saya dan beliau bertitah demikian."

Zein pun berdecak. "Jika harus meminta itu pada Ibu, tentu sulit."

Kalina juga yang memberi titah pada Zein agar memanggilnya dengan sebutan 'ibu'.

"Anak pintar. Baiklah, kabari saya jika membutuhkan saya."

"Oke, Chef. Sementara ini, anggap saja kamu libur."

"Nanti Nyonya bisa curiga. Lagipula saya tak ingin makan gaji buta. Beri perintah pada saya meski cuma membeli es krim untuk Hawa."

Tawa Zein pecah untuk alasan yang Rano berikan. "Yang benar saja, cuma membeli es krim tapi gajinya bahkan lebih besar dari PNS." Ketika tawa itu bahkan masih tersisa di mulut Zein, Rano mengajukan tanya yang seketika menghentikan tawa itu.

"Apa kita mulai saja mencari dia?" Tukang masak itu seperti memegang kartu as dan mengeluarkan di waktu yang tepat.

Zein terdiam beberapa detik. Ada pertimbangan ini dan itu di benaknya. Bahkan ucapan Aji pun terngiang.

Bagaimana jika ternyata dia sudah menikah?

Dia, adalah kata ganti untuk menyebut sosok gadis yang dulu menjadi teman sekelas Zein. Yang pernah mengaku terus terang menyukai pemuda tampan rupawan itu.

Pratiwi Cahya Tiara.

"Haruskah dia, Chef?"

"Memang ada kandidat lain?"

"Bukan kah jodoh kita nanti akan datang sendiri? Nggak harus sekarang juga aku menikahnya, 'kan? Bukan sesuatu yang mendesak."

"Kita pulang, bukan kah alasannya memang itu, Tuan? Untuk mencari dia. Mumpung saya masih hidup. Saya ingin melihat Tuan Muda berkeluarga dan mengabdi untuk Tuan."

Ada senyum Zein yang terkembang tapi Rano tak melihat itu. Pria yang jago masak itu memang mengurusnya dengan sangat baik, layaknya seorang ayah yang menjaga anaknya selama dua puluh empat jam.

Bisa dibilang, Rano adalah bayangan Zein. Tak heran jika Baim suka asal bicara bahwa mereka menjalin asmara. Menggelikan memang. Tapi memang begitu lah sifat anak tunggal di keluarga Alatas itu. Suka asal bicara.

"Kita mulai mencarinya dari mana?"

"Alamat lamanya. Atau ke rumah kakak iparnya yang dulu belum sempat kita kunjungi. Tapi, Tuan. Percaya lah, jika memang ada jodoh nanti akan bertemu sendiri. Cuma ya, kita harus usaha dulu. Yang serius dan sepenuh hati. Allah akan bantu tunjukkan mana takdir kita."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang