Tersenyumlah

2.8K 431 113
                                    

Aji tak bercanda dengan apa yang telah dia ucapkan. Dia benar akan menikahi Adinda hari ini, meski hanya nikah siri. Ini sudah menjelang Maghrib, Kantor Urusan Agama tak ada yang buka meski surat-surat bisa diburu untuk dilengkapi sekalipun.

"Kenapa kalian cemberut begitu?" Aji melipat kedua tangannya di atas perutnya sambil menanyai dua kakak beradik yang sedang duduk di ruang tamu rumah sewa yang terancam akan dijual itu. Zein dan Adinda seperti sedang marah padanya.

"Kamu marah padaku, Zein?" tanya Aji.

Zein menggeleng pelan, "tidak, Mas."

"Kenapa wajahmu bisa kompak ditekuk seperti kakakmu itu?" tunjuk Aji pada Adinda dengan dagunya.

"Karena sepertinya Kak Dinda nggak senang akan menikah." Pemuda itu jujur dengan alasannya. "Iya 'kan, Kak? Kakak nggak senang atau apa? Kenapa diam saja?"

Adinda menarik nafasnya dalam lalu rangkaian kata yang sangat amat banyak di kepalanya itu akan dia ungkapkan. Tapi baru akan membuka mulutnya, Aji tak memberinya kesempatan karena lebih dulu menodongnya.

"Tidak mau nikah denganku? Apa karena pria tadi? Dia itu yang kata kamu namanya Amir 'kan, Zein?"

Terkejut begitu saja wajah Zein saat Aji menebak dengan benar. "Kok Mas Aji bisa tahu?"

"Nebak. Tapi benar, 'kan?"

"Iya, Mas. Dia Kak Amir, anak Pak Lurah."

Aji mencebik dan Putri pun terkikik. "Ada yang cemburu sama anak Pak Lurah, Zein." Tukas Putri yang juga sedang duduk di salah satu kursi kayu yang warnanya sudah pudar itu.

"Apa karena dia anak Pak Lurah, jadi kamu merasa berat dinikahi duda?" tambah Aji. Kasus ini belum sepenuhnya selesai. "Nanti aku juga akan bawa papaku, kamu bisa kenalan dengannya kalo kamu mau."

"Mas Aji serius?!" Putri terkejut. "Papa akan datang?"

"Tentu saja."

Putri tertawa setelah Aji menjawab sepertinya ragu pada kata 'tentu saja' yang barusan dia ucapkan. "Aku nggak yakin, Papa bakal bisa hadir. Nikahnya dadakan begini. Tapi aku penasaran, biar Adinda bicara dulu. Dari tadi Mas Aji yang kepedean mau nikah. Adinda-nya mau, nggak?"

"Ayo, Kak! Katakan sesuatu." Zein menyemangati. "Zein tetap akan di pihak Kak Dinda."

Aji berdecak, lalu akhirnya mau duduk juga. "Ya, sudah. Katakan apa mau kamu." Aji terdengar pasrah dan enggan melihat pada gadis yang ingin dia nikahi.

Hening beberapa detik menjadi jeda, agar kata yang hilang kembali ada. "Tuan?"

"Jangan panggil aku begitu lagi! Samain aja kayak Zein dan Putri." Aji terdengar kesal dan masih enggan menatap wajah Adinda.

Adinda berdehem gugup. "Nggak."

"Terserah!" Aji mengalah.

"Nanti aja jika benar jadi nikah." Jawaban Adinda sukses membuat Aji menoleh padanya.

"Jadi? Mau 'kan, nikah sama aku?" Ulang Aji.

Adinda mengangguk malu dan tak berani mengangkat kepalanya. "Tapi--"

"Tapi apa, Kak?" Zein sepertinya juga berharap pernikahan ini benar terjadi. Aji itu kakak ipar idamannya sekarang, karena semakin dekat dengannya dia mulai sayang. Tapi kebimbangan sang kakak sedang dia telusuri.

"Zein, apa nikah memang benar semudah itu?" tanya Adinda pada adiknya.

Tapi dengan baik hatinya Aji yang menjawab. "Iya, tentu saja. Kalo nikahnya sama aku." Aji berucap bangga. "Kamu tinggal bilang 'mau', semua beres. Apa kamu ini sedang mikirin baju, tempat dan hal lainnya? Itu yang dari tadi bikin kamu cemberut?"

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang