Adinda memacu kecepatan sepeda kayuhnya secepat yang dia bisa. Lalu melewati pos satpam dan menyapa menjaga di sana sambil lalu. Tak seperti hari-hari sebelumnya akan dia tambah dengan anggukan kepala sopan.
Alasannya adalah ...
"Kamu kesiangan?" tanya Aji yang tengah dilewati juru masaknya itu tanpa mendapatkan respon. "Woiii!" teriaknya. Adinda tak juga menghentikan laju sepedanya. Entah dia tak mendengar atau tak menyadari keberadaan Aji di halaman berumput yang dia lewati barusan.
Pria itu tumben sekali sudah berada di sana untuk berolahraga pagi buta begini. Memutari halaman luas itu beberapa kali untuk mencari keringat atau ada hal lain? Menunggu calon istri barangkali. Eh, dicuekin.
"Hei!" Terdengar kesal. Macam biasa, khas seorang Aji Prabaswara.
"Astaghfirullah. Tuan ngagetin!"
Aji tadi berlari ke arah Adinda memarkir sepedanya. Mungkin karena merasa tak suka karena tanyanya diabaikan begitu saja.
"Kamu ini dipanggil diam saja!" ketus Aji.
Adinda yang masih menormalkan nafasnya karena ngebut sepanjang jalan, baru akan menjawab setelah membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun. "Kapan?" tanyanya tak merasa bersalah.
Aji mengeratkan gigi. "Tadi, waktu kamu lewat di depanku."
"Maaf, saya nggak lihat ada Tuan. Biasanya nggak ada soalnya."
Aji sudah akan menaikkan nada suaranya, tapi Adinda beranikan diri untuk menyelanya. "Maaf banget ya, Tuan. Saya kesiangan dan harus cepat masak. Tunda dulu marahnya buat nanti. Saya permisi, harus masak sarapan."
Adinda sudah kabur dengan berlari menuju dapur. Tentu Aji yang bersumbu pendek akan mengejar untuk meluapkan kesalnya, tapi Samara memanggilnya. Lalu pria yang mengenakan celana training dan jaket itu menghampiri asal suara dan meredam kesal sebisanya.
"Iya, Oma." Aji sudah berdiri di depan wanita tua yang memanggil namanya tadi. Samara tengah berdiri di beranda dan kejadian tadi tak luput dari mata tuanya.
"Kenapa sudah marah sepagi ini? Percuma olahraga. Sehat badannya, nggak sehat rohaninya."
"Ini, Oma lagi ngomel juga," sahut Aji tanda kurang setuju.
"Oma ini nanya, bukan ngomel. Teman kamu yang semalam menginap, sudah bangun belum?"
"Belum."
"Mabuk lagi?"
Wajah Aji seketika cemberut, "dia iya. Tapi Aji tidak."
"Harusnya kamu larang dia minum."
"Iya, lain kali tidak Aji ijinkan dia datang. Gara-gara dia, sepagi ini Aji kena marah Oma." Aji mendekap neneknya dari samping dengan begitu sayang. "Hari ini, mungkin Aji akan didatangi oleh mama lagi. Aji harus gimana?"
Tangan Samara terulur untuk mengusap kepala Aji yang ada di salah satu bahunya. "Jadilah anak yang baik, seperti adikmu. Dia juga banyak terluka. Tapi, dia masih berusaha tak memperlihatkan amarahnya."
"Aku nggak bisa, Oma. Barangkali, darah Papa yang mengalir di tubuhku membuat aku seperti dirinya. Jahat dan keras kepala."
"Jangan begitu. Kamu cucu oma yang penyayang."
Aji pun melepas dekapannya. "Tapi buktinya, aku nggak sayang sama mama sendiri."
"Itu karena hatimu sering terluka olehnya. Oma nggak paksa kamu memaafkan mereka segera, tapi cobalah perlahan. Karena membenci cuma bikin hati kita kotor dan lupa bersyukur."
"Entahlah, Oma. Tiap kali melihat wajah Mama, dada Aji sesak sekali. Seperti ingin mati saja rasanya. Harusnya aku tak begini. Harusnya aku sudah dipanggil 'papa' oleh anak-anakku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...