Kali ini rutinitas Samara memberi makan ikan-ikan di sore hari, dia iringi dengan gumaman bernada dari bibir keriputnya. Tanda bahwa dia tengah bahagia. Hanya dia sendiri yang tahu tentang rasa sesal karena pernah kalah dari sisi jahat di dalam dirinya. Sesal itu telah merajam hatinya tanpa ampun lebih dari separuh usianya.
Bahwa cinta buta tak akan membawa kebahagiaan meski takdir menyandingkan dirinya dengan sang pangeran hati. Cinta yang dia paksakan telah melahirkan penyesalan. Tapi karena kebaikan Tuhan, takdir telah menghantarkan Adinda ke rumahnya di suatu sore itu. Tak cukup sampai di situ saja, bahwa ternyata sosok itu pernah hadir di hidup cucunya yang hidupnya pernah hancur nyaris tak tertolong.
Wanita tua itu pernah berpikir bahwa kegagalan pernikahan Aji adalah buah karma dari perbuatannya di masa lalu. Tapi lagi-lagi, Allah yang Maha Baik menghadirkan obat bagi cucu laki-lakinya itu dengan hadirnya seorang bidadari yang merupakan titisan dari sahabatnya yang pernah dia khianati.
"Oma kayaknya lagi happy banget. Bagi dong sama Putri!" Si calon dokter baru saja pulang dari rutinitasnya yang menguras energi lahir batinnya di rumah sakit. Gadis berkerudung hitam itu mendapati Samara yang tak macam biasanya. "Kenapa sih?" Putri memeluk neneknya dari belakang.
Masih sambil menabur pakan ke atas air agar ikan-ikan koi peliharaannya merasa kenyang dia pun akan menjawab rasa penasaran cucu bungsunya.
"Kamu pasti tau."
"Mmm ... Soal Mas Aji?" tebak Putri dengan nada riangnya.
Samara pun mengangguk, lalu menaruh wadah pakan di sisi kolam. "Rasanya oma tidak nyenyak tidur karena saking bahagianya. Masmu sudah tertolong."
Gumaman Putri pun membenarkan dan ikut tersenyum meski hatinya sedang tak tenang akan suatu hal yang harus dia lakukan malam ini bersama Masayu. Mamanya yang pemaksa itu memintanya datang ke perjodohan.
"Ke mana orangnya?" tanya si calon dokter.
"Belum pulang. Tadi pamit mau mengajak Adinda berbelanja."
Putri lepas tubuh neneknya lalu dia tuntun masuk ke rumah. "Aku sempat kaget dengan apa terjadi seharian kemarin, Oma. Serasa bukan Mas Aji. Nikah kayak main sulap aja, tapi keren. Juga dia itu sayang pada Zein udah kayak anaknya aja." Lalu Putri tergelak. "Tapi, di saat yang lain. Dia bisa jadi anak kecil yang nurut aja kalo diminta Zein ini itu. Contohnya aja untuk janji yang dia ucapkan sebelum akad semalam. Mas Aji berjanji buat orang lain, tapi aku yang seolah ikut memegangi janji itu."
Keduanya sudah duduk di teras samping, di mana sudah ada secangkir teh dan kue yang tersaji di meja kayu bundar yang diapit dua kursi kayu. "Aji terlihat bahagia," tukas Samara.
"Sangat bahagia!" Putri membenarkan.
Samara nampak setuju dengan pembenaran cucunya lalu setelah itu desahan panjang terdengar darinya. "Mama kalian belum tau pernikahan ini."
"Tak masalah jika dia tahu. Mama paling marah, tapi ada Papa yang akan maju buat kami. Papa bilang begitu semalam. Ah, Oma. Putri seneng banget bisa peluk Papa kayak dulu lagi, dan dia akan sering datang."
Samara memperhatikan segala ekspresi bahagia yang sedang coba Putri keluarkan tapi satu hal yang dia dapatkan. "Kamu ada yang sedang ingin dibagi sama Oma? Kenapa ada kesedihan?"
Tawa kecil bernada sumbang adalah jawaban Putri. "Tak akan aku bagi kali ini." Gadis itu tak ingin merusak kebahagiaan yang belum genap sehari yang Samara rasakan. "Karena ini hanya soal rumah sakit. Oma pasti akan bosan mendengarnya."
"Sedikit lagi, Sayang. Menjadi dokter mungkin adalah impian dari banyak anak seusiamu tapi mereka kurang beruntung untuk mendapatkan kesempatan itu. Jadi, tetaplah merasa beruntung dan berbahagia. Tolonglah banyak orang nanti."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...