"Zein, kamu gila!"
"Masih waras, Kak. Tapi terlalu tak masuk akal. Aku sendiri pun menganggap diriku demikian. Aku setengah gila."
Zein sudah mengaku, tapi Baim malah membisu. Seperti kata Zein, bahwa ini terlalu tak masuk akal. Baim pikir Zein pemuda baik, tampan rupawan dan berdompet tebal. Apa tak bisa kecantol sama wanita yang setidaknya berkepribadian tak jauh beda dari pemuda itu? Ukhti yang mengantri untuk memilikinya 'kan ada banyak, kenapa harus sama janda?
"Kak?" Panggil Zein pada Baim yang belum memberi saran padanya. "Kenapa asyik diam? Ini aku sedang bertanya loh."
"Kamu hampir membuat aku jantungan Zein." Pernyataan Baim setelah nafasnya dia tarik dengan dalam.
Zein bangun lalu duduk di sisi ranjang. "Ini baru Kak Baim yang biasanya santai yang mendengar ini. Bagaimana jika yang lain tahu? Kak Dinda dan Mas Aji. Lalu Ibu dan Papa. Apa mereka akan menentang ku?"
"Tunggu dulu. Tunggu dulu, Zein. Jangan sejauh itu dulu. Memang Tiwi sendiri ke kamunya gimana? Cerita dulu soal dia."
"Aku menyapanya lalu dia pergi gitu aja. Mungkin dia sudah mengenaliku tapi terlalu kaget lalu pergi."
"Kalian belum yang saling bicara, ngobrol banyak atau apa gitu?" Baim menggebu-gebu dan cukup terdengar kesal.
"Belum."
"Ha-ha-ha." Baim mengeja tawanya. "Lalu bagaimana bisa kamu berspekulasi jauh begitu? Dia belum tentu mau sama kamu. Duh, Zein. Sepertinya ini imbalan buat kamu karena dulu kamu tegas bilang bahwa kamu tak suka padanya."
"Dulu aku memang tak suka."
"Tapi kenapa sekarang sampai taraf nyaris gila?"
"Tiba-tiba aja itu, Kak. Katamu, aku sudah cukup usia untuk menikah. Jadi fokusku adalah nyari calonnya, lalu terpikir lah nama Tiwi. Semua mengalir begitu saja. Tapi, semua udah nggak sama. Aku mencarinya, dan ketika ketemu, tau-tau hati sudah begini meski statusnya udah beda."
"Gila!"
Zein tertawa. "Lalu katakan, si gila ini harus bagaimana?"
"Pastikan dulu semua. Jangan membuat alur drama romansa seenak hatimu. Apalagi sudah ada anak. Saranku Zein, pikirkan dulu lah. Kalo bisa cari yang lain. Yang masih single 'kan kamu tinggal tunjuk saja."
"Aku akan pastikan sambil memikirkan. Tapi tetap dia pilihanku."
"Bayangin jika Mama tahu, Zein. Ah, mending aku bikin adik untuk Sam daripada ikut gila mikirin ini. Aku tutup, ya. Lain kali kita bicara lagi."
"Baiklah. Salam buat Kak Namira dan Sam. Assalamu'alaikum, Kak."
Hening merajai dan ponselnya yang mati Zein pandangi dalam genggamannya. Dia tertunduk dalam lalu terpejam. "Wahai Engkau Dzat yang membolak-balikkan hati, pasti ada hal besar yang menanti hingga hati ini harus gelisah begini. Iya, 'kan? Pasti bukan sesuatu yang sia-sia Engkau pertemukan hamba dengannya lagi dengan situasi yang sudah tak sama lagi." Pikiran baiknya terus berasumsi, tentang segala hal yang dia yakini bahwa apa yang Allah atur adalah yang terbaik.
"Zein!" Suara diiringi ketukan pintu dari luar menyentaknya. Adinda memanggilnya.
"Iya, Kak!"
"Katanya mau makan?"
Zein berjalan ke pintu lalu membukanya. Dia beri senyum terbaiknya saat dia dapati Adinda terkejut karena dia belum mandi.
"Dari tadi ngapain? Kenapa belum mandi?" tanya Adinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...