Mr. Ice Cream

2.5K 374 41
                                    

Putri meringkuk di atas brankar kamar inap dan berteman tangis. Meski Samara sudah menanyai perihal penyebab tangisan itu, gadis cantik itu tetaplah memilih menguras air matanya. Hingga Samara memilih memberinya waktu, dan menyimpulkan cucunya menangis karena keadaan sang ibu.

"Oma ke kamar mama kamu dulu ya, Sayang. Masmu sudah di jalan. Dia akan menemanimu dan kamu bisa bercerita apapun padanya." Tutur nan lembut diiringi usapan di kepala Putri yang berbalut kerudung. Perlahan usapan itu berganti kehampaan yang Putri rasakan kala wanita keriput itu telah keluar lalu menutup pintu.

Tangisannya kian menjadi ketika dia sendirian.

Tadi ketika Putri terbangun, dia sudah di ruangan itu dan sendirian. Awalnya dia tak mengerti kenapa berada di sana dan siapa yang membawanya. Hingga pesan masuk ke ponselnya dari Kiara, telah membuat hatinya tergores lalu terluka.

"Lihatlah! Kakak iparmu sedang bersama pria yang kamu sukai."

Putri sulit percaya itu hingga beberapa foto Adinda dan Reza di rumah Yash dikirim oleh Kiara. Mau tidak mempercayai pun jadi sulit. Hatinya luka tanpa permisi.

"Mas Aji, haruskah tersakiti lagi?" Hati Putri pun kian nyeri saat tadi Samara datang dan memberitahu kabar Masayu yang terserang stroke. "Yaa Allah, sembuhkan Mama."

Tangisnya pun mengalir lagi karena kabar yang tak dia ketahui kebenarannya.

***
Aji begitu khawatir pada Adinda, dan enggan meninggalkannya. Pengaruh obat yang telah Adinda minum membuat tekanan darahnya menurun dan kepalanya pusing, juga kelelahan. Meski dokter telah menanganinya, tapi Aji belum mau meninggalkan sang istri sendirian di kamar rawat inapnya.

"Aku sudah baik-baik saja, Mas. Pergilah menengok Mama dan Putri. Atau aku perlu ikut?"

Aji menggeleng perlahan sambil tak melepaskan jemari istrinya yang dia genggam erat. Pria itu seperti jera karena peristiwa tadi. Hampir saja, keburukan yang lebih buruk menimpa keluarganya.

"Adinda, rasanya aku tak ingin kemana-mana."

"Baiklah. Jadi aku saja yang ikut, ya?" Adinda sudah akan mengangkat tubuhnya agar terduduk, tapi Aji segera mencegahnya. "Kalo begitu Mas pergilah melihat keadaan Mama dan Putri. Mereka butuh perhatian Mas Aji juga. Apalagi Mama."

"Tunggu Zein datang dulu, ya." Mata Aji terpaku hanya pada istrinya lalu menghela nafasnya dalam. "Aku mencintaimu, Adinda. Masih sangat ingin lebih lama hidup sama kamu. Punya anak dan kita menua bersama. Peristiwa tadi, bahkan aku nggak bisa apa-apa. Nggak bisa jaga kamu." Air mata pria itu meleleh lagi.

Sungguh, dia masih ingat betul pikirannya mereka kemungkinan terburuk. Oh, andai itu yang benar terjadi rasanya bernafas pun Aji sudah tak berhak. Adinda begitu suci dan terjaga, andai dia ...

"Mas, yang penting aku nggak apa-apa, 'kan? Semua anganmu itu tetap akan bisa kita usahakan." Adinda membalas remasan tangan kekar yang tak kunjung melepaskannya itu.

"Tapi tadi itu hampir, Adinda."

"Hampir yang berarti belum, 'kan? Sudahlah, sini peluk! Lanjutin aja nangisnya, karena jika Zein datang dia akan meledek Mas Aji karena cengeng begini."

Benar saja, Aji memeluk istrinya lalu menangis. "Aku takut ketemu Mama."

Ternyata ada hal lain yang membuat pria itu menangis. Separuh tubuh Masayu tidak berfungsi, Aji sudah membayangkan betapa tak berdaya Masayu sekarang.

"Takut kenapa?"

"Entahlah. Bagaimana jika aku pun menangis di hadapannya juga?" Aji merasa tak tega, itu intinya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang