Seperti dugaannya, Raja menemukan Kiara di apartemen kecil milik wanita itu yang sudah lama tidak ditinggali. Password pintunya yang tak diganti, membuat pria berperawakan tinggi nan gagah itu bisa masuk dengan mudah.
Ada suara teriakan yang Raja dengar kala kakinya melangkah dan matanya disambut pecahan kaca serta barang-barang yang tak pada tempatnya. Kiara tadi mengamuk, itulah tebakannya.
Tak sulit dia temukan si pemilik teriakan yang dia dengar amat pilu itu. Raja yang awalnya ingin melampiaskan amarah, perlahan niat itu menghilang seiring langkahnya yang mengikis jarak dan suara teriakan melemah.
Kiara ada di kamar mandi, duduk bersandar pada dinding di bawah kucuran air. Dia terlihat sangat menyedihkan di mata Raja.
"Mau mati kedinginan kamu?" tanya Raja seraya mematikan aliran air. Lalu pandangannya menyorot wanita yang menjadi alasannya datang. Hening setelahnya, karena Kiara tak menjawab tanya karena mencoba meredakan tangis. "Semakin aku lihat jelas, kata jahat dan bodoh kian lekat padamu. Berdirilah!"
Kiara membuang muka dengan sesenggukan. "Pergi!" kata pengusiran tanpa penekanan.
"Jika aku nurut, kamu bisa mati."
"Bukankah itu bagus, Ja?"
Raja berjongkok, lalu menyibak rambut basah yang menjuntai di wajah Kiara. "Sejak dulu aku sangat tahu sisi dirimu yang jahat ini. Tapi baru kini, rasanya aku ingin membalasmu hingga tuntas sempurna."
"Jangan ragu. Balas saja."
Bukannya menuruti, justru Raja malah mengangkat tubuh basah Kiara dan membawanya keluar dari kamar mandi. Tangis Kiara pun terdengar lagi, dan tangannya memeluk leher Raja dengan kuat. Sementara wajahnya mencari persembunyian di dada lebar yang kini ikut basah. Seolah mengadu sekacau apa isi hatinya.
Tubuh ramping itu sudah mendarat di sofa beludru berwarna abu tua yang ada di satu-satunya kamar dalam apartemen itu. Raja biarkan saja wanita itu menangis kian menjadi di sana, lalu langkahnya terayun untuk menuju lemari baju dan mengambil sebuah handuk.
Dengan lembut tiap sisi wajah yang basah dan helai rambut Kiara, Raja usap agar mengering. "Apa yang kamu dapat setelah melukai Aji lewat istrinya? Apa hatimu membaik?"
Kiara menggeleng.
"Tante Masayu sakit. Dia stroke."
Wanita itu pun semakin tersedu. Tentang keadaan Masayu, baru dia ketahui sekarang. Terakhir melihat keadaannya, Kiara pikir mantan ibu mertuanya tadi cuma pingsan.
"Cukup, ya. Jangan lukai siapapun lagi." Tangan Raja berhenti menyeka. Lalu pandangannya tak lepas dari wajah Kiara yang basah lagi oleh air mata. "Aku sama jahatnya denganmu. Aku juga pernah membenci Aji dan melukainya hingga dia hancur. Tapi, dia memaafkanku, juga ibuku. Dan Putri, dia anak baik, Kiara. Sungguh, baru kali ini aku sedekat itu dengannya. Dia ... adikku. Aku ingin menebus semua. Jika yang kamu inginkan adalah harta, ambil semua yang aku punya. Jika kamu ingin kebahagiaan, akan aku usahakan hingga kamu benar-benar bahagia."
Kiara menatap Raja, dan mendengar setiap perkataan pria itu dengan seksama. "Hiduplah denganku. Lanjutkan rencana pernikahan kita. Kita pernah saling mencintai, rasanya tak akan sulit untuk berjalan beriringan hingga menua. Manfaatkan lah aku, untuk meraih apapun yang kamu mau. Tapi, berhenti. Berhenti mengusik hidup saudaraku."
"Ja," Kiara menjatuhkan kepalanya di pangkuan Raja, lagi-lagi untuk menumpahkan air matanya. "Bawa aku pergi jauh dari sini."
"Tentu." Raja mengusap rambut lembab Kiara, "ganti baju. Nanti kamu bisa sakit."
"Apa mereka akan membalas ku?"
"Tidak."
"Aji baik ya, Ja. Istrinya juga. Pantas saja, mereka berjodoh." Lalu senyuman tipis terkembang seraya pikirannya yang jauh melayang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...