Hujan lebat membuat mata melihat ke arah mana pun serasa abu-abu. Zein ingat di mana letak halte di mana Tiwi seharusnya berada, tapi ingin melajukan mobil tak bisa tergesa.
Tetap melambat hingga tempat calon penumpang menunggu kendaraan yang ingin dinaikinya itu pun sudah samar terlihat. Jarak kian terkikis habis tapi Zein tak melihat sosok yang dikejarnya hingga ke tempat itu.
"Ke mana dia? Apa sudah naik angkot?" tanya Zein sendirian. Lahir lah rasa kecewa di hatinya begitu saja.
Kenapa bisa dia rasakan kecewa lagi dan lagi? Terhitung sejak Zein kembali ke Indonesia. Salah siapa memupuk angan terlalu tinggi pada apa yang belum pasti? Juga, kenapa seolah bandel pada pilihan awalnya? Kenapa harus Tiwi?
***
Petir saja kalah dahsyat suara gemuruhnya saat matanya beradu dengan sosok yang masih diingat jelas di hatinya. Maka lari adalah hal yang harus diambil Tiwi untuk menata hati untuk pertemuan yang tak disangkanya itu.Masih sambil sesekali memegangi dadanya di balik baju basahnya yang berdebar hebat saat tahu dengan jelas bahwa pria yang dia tahu sebagai Tuan Muda dari Mesir ternyata adalah sosok cinta pertamanya.
"Zein ... " lirih sekali mulutnya bergumam nama pemuda itu. Lalu kedua tangannya mengepal hingga ruas jarinya memutih. Alih-alih tersipu karena bertemu kembali dengan pemuda yang pernah mengisi hatinya, sorot mata Tiwi malah dipenuhi kebencian.
Angkot yang ditumpanginya hanya ada tiga penumpang yang tak saling sapa. Di luar juga masih hujan lebat., dan petir masih menyambar. Baju basah kuyup tapi seolah tak dia rasa. Ada setetes air mata yang dia usap kasar saat lancang akan turun di pipinya.
"Buat apa nangis?" kata Tiwi pada dirinya sendiri lalu tersenyum sarkas. Dua penumpang lain pun sampai mengerutkan dahi, mungkin lantaran terkejut tingkah aneh gadis berambut sebahu itu.
"Kiri, Bang!" Tiwi akan turun begitu kendaraan umum itu diberhentikan oleh sopir setelah mendengar instruksi Tiwi.
Tak peduli pada hujan yang terus mengguyur dan Tiwi akan semakin basah, dengan sandal jepitnya dia menapaki tanah berpaving menuju tempat yang dia sebut rumah. Memasuki gang sempit yang selokannya meluber airnya yang tak sedikit membuat langkah kaki Tiwi melambat. Ditemani sisa debarannya, dia akan pulang.
Di sebuah rumah kontrakan bersusun terdapat sepetak tanah kosong di depannya. Di sana ada dua anak perempuan yang tengah bermain di bawah hujan dengan riangnya meski baju mereka telah bercampur lumpur.
"Ibu!" Seru salah satu anak perempuan itu. Dia berlari menyongsong Tiwi yang sama basahnya. Alih-alih marah, Tiwi malah berjongkok dan memeluk gadis cilik berkucir dua itu.
"Kenapa main hujan?" tanya Tiwi sambil menggendong gadis kecil itu menuju bangunan yang catnya sudah pudar itu. Sementara anak satunya sudah berlari masuk lebih dulu.
"Ibu juga," sahut si bocah tanpa merasa bersalah. Dia meringis menunjukkan giginya yang ompong dua di depan.
"Ibu tak membawa payung. Tapi kalo Nada, pasti sengaja. Iya, 'kan?"
"Tadi Loli yang ngajak Nad. Hujan udah lama nggak turun, jadi kami senang sekali, Bu."
"Bagaimana kalo Ibu marah padamu?"
Nada mengeratkan rangkulan tangannya di leher sang ibu, " Ibu tak akan marah. Karena Ibu sayang sama Nad."
Terbitlah senyum tulus yang sejak tadi Tiwi susah mengusahakan tercetak di wajahnya. "Nada sudah makan?"
"Sudah, Ibu."
Satu kecupan Tiwi berikan di pipi kanan sebagai hadiah untuk si gadis cilik yang pintar itu. Mengeratkan pelukan sembari menapaki tangga menuju rumah sewa mereka di lantai tiga. Banyak hal yang tengah Tiwi pikirkan, hingga bibirnya hanya diam sedangkan Nada asyik bernyanyi. Lalu saat tiba di ujung tangga lantai dua, ada teriakan seorang wanita yang tengah memarahi anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...