Pena Humaira

2.5K 351 53
                                    

Maka beberapa hari pun berlalu dari keputusan yang Aji ambil. Tapi betapa jahilnya dia, karena tak memberitahu Putri perihal niat Reza yang ingin melamarnya. Adinda sering memprotes dirinya lantaran hal itu, seperti saat ini. Jika protes dilayangkan, maka Aji akan beralasan. Tak mau kalah.

Hari Minggu pasutri itu telah diisi setengahnya dengan hanya berada di dalam kamar. Aji tengah fokus pada ponsel, sedangkan Adinda membungkus beberapa novelnya untuk dikirim ke calon pemilik barunya.

"Baru tau kalo ternyata saat istriku mengomel wajahnya makin cantik dan bibirnya ngegemesin. Jadi pengen cium." Aji mengistirahatkan tangannya dari surat elektronik dalam ponselnya dan menoleh pada Adinda yang tengah menggunting lakban. Dia yang tengah berbaring di sofa panjang berwarna abu tua itu akan beralasan lagi perihal niat Reza yang masih dia sembunyikan dari adiknya. "Aku tuh, masih kesal aja sama dia. Tapi malah nekat menginginkan adikku. Enak saja!"

"Mas?" panggil Adinda dengan lembut sembari melipat tangan di atas perutnya. "Adiknya suka, kenapa kakaknya malah mempersulit?"

"Aku tidak mempersulit, Sayang. Cuma membuat tidak mudah aja bagi cucu Bramantyo itu."

"Sama aja itu artinya. Ngalah aja sih, kasih tahu Putri sama Oma segera, itu lebih baik. Karena minggu depan yang Mas Aji tentukan itu tinggal lusa."

Aji duduk lalu meninggalkan ponselnya, berjalan menuju istrinya yang tengah duduk di hamparan karpet mahal di kamar mereka. "Dia itu aneh, Din."

"Mas juga aneh. Sama-sama aneh harusnya paham."

"Aku aneh?" Aji menunjuk hidungnya, setelah duduk bersila. Ketika Adinda mengangguk tapi enggan melihat Aji dan terus menyelesaikan pekerjaannya, dia pun bertanya, "aku aneh di bagian mana?"

"Banyak."

"Ih, nggak bisa gitu. Kenapa malah nyamain aku sama Reza? Coba sebutkan!"

Aji bertingkah seperti anak kecil, pikir Adinda begitu. Makanya wanita itu mengulum senyum, lalu mengistirahatkan tangannya. "Mas pernah jatuh cinta Kayak Reza, 'kan?"

"Pernah."

"Sama siapa aja?"

"Baru-baru ini, sama seorang wanita cadel yang bermata empat dan berhidung pesek." Aji tergelitik akan kalimatnya sendiri, lalu mendekat agar bisa meraih tangan istrinya yang cemberut padanya. Menggenggam jemari Adinda lalu mengecupnya. "Aku sampai nekat mencuri di rumah wanita itu," akunya.

"Sekarang sadar, 'kan? Selain mengempeskan dua roda sepedaku, dan membuat ponselku berenang ke dalam sup panas, masih ada hal lain tentang Mas yang bisa aku sebut aneh."

Dua orang itu kini berhadapan dengan lutut yang bersentuhan. Aji tersenyum sambil menyelami keindahan mata yang tak sedang terbingkai lensa itu. "Aku curiga, wanita itu adalah penyihir. Sampai-sampai aku hilang akal begitu."

Adinda malah tertawa, "penyihir yang suka naik sapu terbang?"

"Ck. Itu nenek sihir," gerutu pria itu yang gagal mencipta keromantisan. Bahkan suara nyaring dari perutnya pun ikut-ikutan mengganggu.

"Saatnya makan siang, Tuan." Adinda berdiri, dan pekerjaannya pun selesai. Tumpukan paket siap diantar ke ekspedisi langganannya. Tangannya terulur ke Aji agar disambut oleh pria itu yang lalu ikut berdiri. "Boleh aku antar paketku sendiri?" tanya Adinda.

Aji merangkul bahu istrinya yang terasa pas dilingkari oleh tangan kekarnya. "Aku antar."

"Aku udah lama nggak naik sepeda." Suara yang terdengar menggerutu.

"Ya, kalo gitu aku antar kamu naik sepeda. Kita boncengan."

"Bukan yang seperti itu. Tapi aku mengayuh sepedaku sendiri."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang