Keputusan

2.5K 370 38
                                    

Rupanya ada ekstra part dari segala rentetan kejadian yang membuat pria bernama Aji Prabaswara kesal hari ini. Baru datang dan menginjakkan kaki di lobi rumah sakit, dia melihat cucu dari Nata Bramantyo yang menenteng buket bunga sedang berada di sana lebih dulu darinya.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Aji kurang ramah pada Reza.

"Ini tempat umum. Suka-suka aku lah kalo ternyata ada di sini," jawab Reza tak gentar. "Ngomong-ngomong kamu lagi sakit atau nyari adik kamu?"

"Jangan sok ramah. Aku tahu kamu punya maksud lain dari pertanyaan kamu itu." Aji melihat jengah ke arah buket bunga. Tentu saja dia bisa menebak, bahwa Reza tengah menunggu Putri. Apa Aji boleh tertawa, karena ternyata hari ini adik tersayangnya itu jaga malam?

Lebih baik jangan, ingat sama Zein yang lagi sakit. Jadi jangan membuat orang lain sakit meski tak berdarah.

Lalu dalam ketidaktahuannya pria berkulit sawo matang itu tersenyum seraya makin mendekat pada Aji. Ada sedikit penyesalan kenapa mereka dulu pernah terlibat perkelahian yang disebabkan hal sepele. "Syukurlah, jika kamu paham. Jadi aku tak perlu mencari alasan. Layaknya pria yang sedang jatuh cinta, saat ini aku tengah berusaha. Alhamdulillah, ketemu sama jalan keluar. Kita ketemu di sini meski nggak janjian."

"Aku sedang buru-buru!" Aji akan membawa istrinya yang tengah cemas akan adiknya itu menjauh.

Tapi nampaknya Reza sedang serius. "Baiklah," ucapnya saat Aji akan berlalu. "Aku hanya tahu rumah dan kantormu. Aku datang saja ke rumah, ya? Karena dua hari ini aku berusaha menemui Putri di sini, tapi tidak bertemu. Apa sejak kemarin dia tak ada jadwal koas? Aku menunggunya."

Ingin abai dan segera ke kamar di mana Zein dirawat, tapi tangan Adinda menahan langkah Aji. Paham akan maksud dari istrinya, terpaksa dia meladeni Reza lebih dulu. "Katakan apa maumu!"

"Melamar adikmu."

Aji memutar mata jengah lalu nampak akan marah. Tapi sebelum meledak, Adinda yang sebenarnya lebih cemas dari suaminya itu membisikkan kalimat lembut di telinga si tukang kesal. "Iyain aja, Mas Aji. Aku pengen segera melihat Zein." Ada maksud lain dalam benak wanita itu pada permohonannya.

Pertemanan antara Adinda dan Putri mulai aktif kembali, jadi dia bisa merasakan bahwa hati Putri yang tengah mekar bunga asmara, tentu saja hal itu perlu dia perhatikan. Selain sebagai kakak iparnya, Adinda juga adalah sahabat dari calon dokter itu, bukan? Entah apa jawaban lamaran dari Putri nanti, yang penting jalan ke sana sudah dia usahakan.

"Suruh datang ke rumah," tambah Adinda masih sama dengan nada pelannya. Aji berkerut kening, menoleh pada istrinya yang memasang wajah memohon. "Aku ingin lihat Zein," mohonnya lirih.

Ah, bisa apa Aji selain menuruti sang ratu. "Datanglah ke rumah."

Reza tersenyum lebar. Tapi ...

"Bulan depan!" Tegas Aji.

Maka senyum pun redup. "Ntar malam aja sih," Reza menawar.

"Adikku jaga malam." Aji tak menyerah dengan mudah.

Maka jika Adinda biarkan perdebatan itu, dia akan lebih lama bertemu adiknya yang katanya tengah dirawat.
"Mas Aji?" Adinda menengahi. Aji pun menoleh padanya. "Jangan mengulur waktu buat niat baik. Minggu depan?"

Rasanya masih belum ingin membuat Reza sumringah, tapi apa daya, wajah Zein tak mau hilang dalam benaknya. Kiranya dia sakit apa? "Kamu dengar itu? Ku rasa cukup," kata Aji pada Reza lalu membawa pergi istrinya.

Cucu Bramantyo pun terlonjak senang, tak peduli tatapan orang padanya untuk hal konyol itu. Berkali-kali dijodohkan, dan selalu dia kacaukan sendiri dengan penampilan anehnya. Kini dia rasa inilah akhir dari ulahnya yang keukeuh menolak jodoh yang diatur untuknya itu.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang