Cinta Di Ujung Rindu 3

300 24 0
                                    

Cowok masa takut sama rasa pahit. Pahit itu bisa hilangin sakit.

Zein ingat kata-katanya sendiri ketika menyemangati El Rumi saat takut minum obat. Dia rasa kalimat itu pantas untuk menyemangati dirinya juga saat ini.

Rano bilang, jika nanti nambah tahu yang artinya nambah sakit. Maka urus sendiri rasa sakit itu.

Tuntaskan saja. Jika sakit biar sakit sekalian. Zein hanya tak ingin penasaran lebih lama. Apalagi ketika semalam barang-barang Tiwi yang dulu tertinggal di rumah lama gadis itu, dia buka kembali. Rasanya sayang jika harus menyerah saat ini, apalagi sudah ketemu orangnya juga.

Jika ternyata status Tiwi adalah janda, maka tidak salah andai Zein coba meraih hatinya, bukan? Tapi siapa pria yang pernah menikahinya?

"Bukan aku, Zein!" Seorang pria berseragam dinas khas tentara Indonesia tengah mengelak bahwa bukan dia yang menikahi Tiwi

"Lalu siapa, Dan?" tanya Zein.

Danendra. Zein menyambangi rumahnya yang ternyata alamatnya belum pindah. Untung saja teman lamanya itu belum berangkat bertugas di luar kota.

"Aku tak tahu. Aku seperti kamu yang tak melihatnya lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Aku bahkan lupa padanya. Tapi kamu kok enggak, ya? Haaa! Kamu naksir dia ternyata." Danendra tersenyum mengejek Zein. Masih ingat betul dia soal lantangnya Zein dulu berkata bahwa dia tak suka Tiwi.

"Ini bukan soal suka atau tidak suka, Dan."

"Lalu apa?"

"Semua begitu saja aku rasakan. Selama di Mesir pun, aku bukan yang ingat sama dia terus gitu. Bukan yang seperti itu. Hingga aku merasa bahwa sudah saatnya aku menikah. Tapi aku tak punya calon."

"Terus kepikiran sama Tiwi?"

Zein mengangguk lalu mengusap wajahnya gusar. "Dia udah punya anak, Dan. Mungkin karena itu dia tak lanjut sekolah lagi."

Danendra tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya setelah mendengar berita itu. "Itu beneran, Zein?"

"Iya. Usia anaknya kisaran enam atau tujuh tahun."

"Masa sih udah umur segitu? Apa dia hamil lalu putus sekolah dan pindah rumah? Astaga! Apa seperti itu kejadiannya?" tanya Danendra menggebu-gebu. Rasa penasarannya mungkin melebihi Zein sekarang. "Andai tak sedang ada tugas, mungkin aku akan ikut kamu ketemu Tiwi." Danendra terdengar menyesal, karena pasti seru jika mereka bertiga reuni setelah lama tidak bertemu. Mau melihat juga, seorang gadis yang dulu pernah ditaksirnya kini secantik apa. Pokoknya isi pikiran Danendra cukup menggelikan jika diungkapkan.

"Aku ke sini karena aku kira kamu tahu soal Tiwi, Dan. Ya sudah, berangkat lah dinas. Maaf mengganggu waktu pagimu. Kamu terlihat keren dengan seragam loreng itu." Puji Zein tulus pada pemuda yang dulu sempat merundungnya itu. Dua tangan pemuda itu pun saling berjabat ditambah pelukan perpisahan sebelum Zein keluar dari rumah mantan Kapolsek itu.

"Jika nanti kalian menikah, kabari aku!" Pesan Danendra pada Zein yang memasuki mobilnya. Prajurit itu lalu berdecak begitu keras, mencerminkan bahwa ada kesal di hatinya. "Tuan Muda kaya raya kamu sekarang, Zein!"

Di balik kemudinya Zein terkekeh. "Ini hanya titipan. Bukan milikku."

"Tapi titipan kamu semewah itu ya, Tuan Muda!" Olok Danendra sebelum akhirnya Zein mengajaknya untuk bertemu lagi lain kali lalu dia pun pergi.

***

Hari ini Zein pergi ke konveksi tanpa Rano. Dia yang meminta juru masak itu untuk tetap tinggal di rumah. Tapi jika mendesak, Rano siap dipanggil kapan saja, karena dia digaji memang untuk itu. Melayani Tuan Muda.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang