Pencuri Hati

2.4K 322 43
                                    

Zein tidak sedang marah atau menyalahkan Aji yang memaksanya untuk pindah sekolah. Hanya saja dia merasa sedikit sedih, karena meski tak punya banyak teman, bisa bersekolah di situ adalah perjuangan dari kakaknya. Dulu dia sangat ingin sekolah di sekolah swasta itu, hingga Adinda mengupayakan biayanya dengan peluh keringatnya. Tapi sekarang dengan terpaksa dia harus pindah, dengan alasan untuk kebaikannya.

Kakinya berhenti mengayuh sepeda di depan sebuah bengkel tak jauh dari sekolah yang akan dia tinggalkan. "Titip sepeda ya, Mang Kus," katanya pada si pemilik bengkel.

Pria yang sudah beruban dan berkumis lebat itu menoleh pada Zein. "Kamu beberapa hari nggak nitip sepeda di sini, kenapa?"

"Aku sakit, Mang."

"Oh, kirain udah berani bawa sepeda mahal ini ke sekolah. Ya sudah, taruh saja di tempat biasanya."

Zein mengangguk dan menuruti titah pria itu. Berjalan dengan lesu menuju garasi di belakang bengkel kecil yang melayani perbaikan sepeda roda dua saja, bukan termasuk sepeda motor.

Menarik nafasnya dalam sambil menatap sepeda pemberian kakak iparnya, Zein merasakan kesedihan itu lagi. Memang, di sana dia sering jadi bahan perundungan teman-temannya, tapi tak semua teman jahat padanya, 'kan?

Sudahlah, Zein menyerah saja. Kata Aji ini yang terbaik untuknya. Dialah pengganti orang tuanya yang telah tiada. Aji baik, sangat baik. Benar-benar kakak ipar idaman semua adik. Termasuk dirinya.

Sudah ada Aji di hidupnya, sekarang kakaknya tak perlu berlelah-lelah membuat kue untuk biaya hidup mereka lagi. "Mang, mungkin hari ini terakhir aku nitip sepeda di sini."

"Loh, kenapa?"

"Aku akan pindah sekolah."

Pria pemilik bengkel itu mendekati Zein lalu tersenyum sembari memberi tepukan di bahunya. Tanpa bertanya lebih perihal alasan apa yang melatarbelakangi kepindahannya. "Pindahlah ke tempat yang menghargai mu, bukan karena apa yang kamu punya. Melainkan tulus karena kamu adalah Zein, anak baik yang sederhana ini," kata pria berkumis itu seolah menyetujui kepindahan anak kelas sepuluh itu. "Selama ini banyak yang nakalin kamu, 'kan? Mamang tahu itu."

Zein berkerut kening, hingga Mang Kus malah tertawa. "Buktinya adalah sepedamu yang dulu jadi rongsokan akibat ulah mereka. Dan sekarang, kamu sudah punya sepeda sebagus ini, tapi malah kamu umpetin di sini."

"Tapi itu bukan karena aku takut sepeda itu akan dirusakin mereka lagi."

"Mamang tahu. Kamu hanya tak ingin mereka tahu bahwa kamu punya lebih dari apa yang mereka punya. Kamu hanya ingin terlihat seperti Zein yang dulu. Sederhana dan apa adanya."

Zein tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Aku bakal rindu sama Mamang."

"Mamang yakin, jika kamu ke sini suatu hari nanti, kamu sudah menjadi pria yang sukses."

"Aamiin." Senyum keduanya pun tercetak setelah kata penutup doa itu tercetus.

Matahari mulai memantulkan bayangan semua benda ketika Zein melangkahkan kaki meninggalkan bengkel kecil itu. Pikirannya pun tak bisa diam, karena terus saja mereka adegan. Kiranya bagaimana reaksi teman-temannya atas kepindahannya.

***

Bel tanda masuk sudah sejak tadi berbunyi, lorong-lorong kelas mulai sepi dan Zein teringat semua kenangan yang pernah dilaluinya di sana. Dia memang belum benar-benar pergi, tapi hati sudah tersulut nyeri.

"Zein!" seru seorang pria berkemeja batik lengan pendek yang memanggil namanya. Tenaga pengajar yang masih terlihat muda itu lalu sedikit berlari ke arahnya. "Sudah sembuh?" tanyanya khawatir sembari melihat wajah anak muridnya yang beberapa hari ini tidak masuk sekolah.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang