"Assalamu'alaikum, Tiwi."
Hingga detik-detik berlalu salam itu tetap tak terjawab. Zein lalu menempatkan dirinya untuk duduk dengan nyaman di kursi meski tidak disambut ramah. "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya begitu lembut dan ada rasa iba yang menguat begitu saja. Dia tahu Tiwi tak akan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaannya itu, tapi dia akan terus bicara.
"Nada sudah baik-baik saja. Apa kamu ingin menemuinya?"
Mata Tiwi terpejam seolah itu sebuah keengganan untuk melakukan tanya jawab dengan pemuda di depannya itu. Sudah ada peringatan keras di otak Tiwi, agar tak beramah tamah pada orang yang bernama Zein Al Ghifari. Mau setampan apa wajahnya sekarang, jangan bangunkan rasa cinta yang dulu pernah mekar untuknya.
"Tak mau bicara padaku? Tak apa, aku yang ingin bicara padamu. Akan terus bicara, sampai kamu---
"Apa?!"
Zein tersenyum atas respon galak itu. "Dulu kamu tak segalak ini, Wi. Apalagi padaku."
Manis sekali senyum pria itu, hingga Tiwi tak ingin menjadi lemah lalu mendamba lagi. Wanita itu lantas memunggungi Zein agar terhindar dari kemungkinan cinta lama bersemi kembali di hatinya.
"Aku--- " Kalimat Zein tertahan di mulut karena rupanya ada seseorang yang datang dan terdengar mengucap salam dari arah pintu.
"Benar ini kamar Tiwi?" tanya seorang pria muda berbadan tinggi berkulit sawo matang.
Zein mengerjap bingung tapi dia tetap mengangguk sebagai jawaban, sementara Tiwi yang merasa tak asing dengan suara itu, dia pun menoleh.
"Mas Pras? Kenapa ke sini?" Sebuah tanya yang begitu saja lolos dengan lancar dari bibir pucat Tiwi. Zein sampai berkerut kening saat pasien yang tadi bermuka masam padanya, kini mulai bergerak untuk mencoba duduk.
"Tentu saja menjengukmu dan Nada. Tapi aku tak bisa menemui Nada karena ada seseorang yang melarangku masuk," tutur Pras yang berdiri di samping ranjang yang bersebrangan dengan Zein. Hingga tuan muda itu bisa melihat dengan jelas interaksi dua orang di depannya itu yang ternyata cukup dekat.
"Aku juga ingin melihat Nada. Mas Pras bisa membantuku?"
"Tentu saja. Kamu mungkin butuh kursi roda, aku akan ambilkan." Pras baru saja akan keluar kamar, tapi Zein mencegah dengan suara yang cukup keras dan terdengar keberatan.
"Kamu siapa?" tanya Zein, tentu tertuju pada tetangga kontrakan Tiwi yang berniat baik ingin membantu itu.
"Aku?" Pras tunjuk hidungnya sendiri. "Oh!" Pras meringis tak enak. "Kami---"
"Dia pacarku!" Jawab Tiwi yang membuat dua pria itu melotot terkejut. "Anda bisa pergi. Dia yang akan membantuku dan Nada." Ucapan dingin itu untuk Zein.
"Nggak mau!" Zein keras menolak, dan tahu-tahu hatinya sudah nyeri entah sejak kapan. Sejak Tiwi ketus padanya, atau ketika pria mengakui Pras sebagai pacar. "Aku nggak mau pergi!"
Tiwi abai saja, seolah barusan tak mendengar apa-apa. "Mas Pras tak perlu ambil kursi roda, bantu saja aku. Aku bisa berjalan kok."
"Baiklah." Langkah Pras mendekat pada Tiwi tapi Zein tiba-tiba menghalangi.
"Jangan sentuh calon istriku!" katanya lantang.
"Eh?" Tentu banyak tanda tanya yang sekarang ini ada di kepala Pras. "Calon istri?"
"Jangan dengerin orang gila ini, Mas." Tiwi turun perlahan, lalu meraih tiang infusnya. Berjalan tertatih karena tubuhnya masih lemah, dan melewati Zein begitu saja. Apalagi, tiba-tiba Tiwi mengalungkan tangannya pada salah satu lengan Pras. "Ayo, Mas. Tolong antar aku ke kamar Nada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...