Kenapa Mencintaiku?

3K 427 54
                                    

Makan malam yang kemalaman sebagai perayaan kecil pernikahan Aji dan Adinda sudah berakhir. Prabu sudah pulang karena harus berangkat ke luar kota malam ini juga. Martha pun sama, harus lebih dulu pulang karena suaminya menelfon dan mengabarkan bahwa anak bungsunya yang tengah demam. Hanya tertinggal Baim yang nggak mau pulang meski dipaksa dan malam telah terlewati setengahnya.

"Segelas aja, Ji. Ayolah!" Ini sudah kesekian kalinya Baim membujuk Aji agar mau meneguk alkohol. Tapi Aji terus saja menggeleng, dan akhirnya merebut gelas di tangan sahabatnya yang sudah terlihat mabuk itu.

"Cukup, Im! Kamu udah mabuk itu." Hanya ada Aji dan Baim di ruang terbuka di sudut belakang rumah besar itu. Memang di situ ada banyak jenis minuman beralkohol yang Aji simpan. "Aku akan berhenti minum, kamu juga cobalah."

Baim tersenyum lalu merangkul pria yang duduk di kursi bar di sampingnya. "Kamu ada alasan buat berhenti sekarang. Ada bidadari yang menjadi tempatmu pulang, dan berbagi sakit juga tawa. Sedangkan aku, Ji. Tak ada yang peduli dengan anak haram sepertiku. Andai pun aku mati besok, nggak ada yang menangisi kematianku. Aku hanya punya kamu, teman. Dan kini aku harus membagimu dengan istrimu."

Aji terkekeh. "Kita selamanya akan berteman, Ibrahim."

Baim pun tertawa. "Kalo kamu manggil aku dengan nama itu, berasa jadi pria sholeh aku ini, Ji. Anak haram tetaplah anak haram meski sebagus apa nama yang aku sandang."

"Tak ada yang namanya anak haram, Im. Apa kamu lupa bahwa Zein pernah bilang itu ke kamu?"

"Zein. Anak itu kalo ngasih nasihat udah kayak kakek-kakek aja. Di mana kamarnya? Aku mau tidur sama dia saja."

Dengan langkahnya yang terhuyung, Baim menjauh dari meja bar. Lalu Aji pun mengikutinya sembari berikrar pada diri sendiri bahwa besok semua minuman koleksinya itu akan dia buang. Baim bisa tersesat jika tak diarahkan kemana langkah yang harus dia ambil.

"Tunggu aku, Baim! Mau ke mana kamu? Itu kolam renang!"

Byuur!!

"Astaga, Im!" Aji berlari ke arah kolam di mana Baim sudah menyelam di sana. Baim akan merepotkan dirinya malam ini.

Luar biasa sekali malam pengantin si mantan duda ini.

***

"Maaf harus ganggu kamu, Zein."

"Nggak pa-pa, Mas."

Aji sudah mengganti baju Baim yang basah, tapi belum dengan dirinya sendiri yang masih mengenakan pakaian basah. "Kamu yakin? Nggak pa-pa, Baim tidur di sini sama kamu?"

"Yakin. Lagian dia juga udah mendengkur itu. Kasihan jika dia harus pindah kamar," jawab Zein lalu menguap namun segera ditahannya itu.

"Kunci aja pintunya."

Zein mengangguk. "Mas ganti baju sana! Bisa masuk angin nanti."

Aji hendak keluar tapi tak jadi. "Semoga kamu betah tinggal di sini."

"Ada Kak Dinda. Pasti betah lah! Kalian juga baik!"

"Aku kakakmu. Jangan sungkan untuk hal apapun yang kamu butuhkan, minta saja."

"Oke. Oh ya, terima kasih karena udah mau janji tadi. Maaf jika permintaanku itu kurang berkenan, apalagi Mas Aji mengucapkannya di depan semua orang."

"Ngerjain banget kamu emang," balas Aji seraya tersenyum. "Sekarang lanjutlah tidur. Besok kamu harus sekolah dan aku yang akan mengantarmu mulai besok."

"Tak perlu repot, Mas. Aku punya sepeda baru. Aku naik itu saja. Aku ingin tetap menjadi Zein yang biasanya, meski sekarang aku memiliki kakak ipar yang sangat bisa aku andalkan."

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang