Cinta Di Ujung Rindu 8

269 31 0
                                    

Zein si anak baik, semua orang tahu julukan itu. Tapi Zein sendiri merasa bahwa terhitung sejak buku harian Tiwi dibuka, tak setuju dengan anggapan itu lagi. Ternyata ada air mata seseorang yang bertahun-tahun mengalir yang telah disebabkan olehnya.

Pratiwi Cahya Tiara, wanita yang menuduhkan segala luka telah disebabkan oleh Zein itu, kini tak mau pergi dari benaknya. Apapun yang Zein lakukan serasa salah. Rasanya bernafas saja dia terasa salah karena dia ingin segera minta maaf.

Tapi rupanya tidak bisa untuk hari ini karena sepertinya pemuda itu akan sibuk. Kalina memintanya untuk mulai ikut campur di perusahaannya, dan pagi ini dia akan ikut hadir di rapat dewan direksi atas permintaan ibu angkatnya itu.

Kalina tiba-tiba tersenyum saat melihat wajah si anak baik yang hari ini tak mau senyum itu. Di dalam mobil yang Rano kendarai, Kalina yang tengah duduk berdampingan di kursi belakang bersama Zein, sepertinya akan mengawali topik serius.

"Zein?"

"Iya, Bu." Biasanya sahutan yang akan Zein berikan pada wanita yang kaku di sebelahnya itu, terdengar ada manis-manisnya, tapi kali ini sedikit menggerutu.

"Hei, lihat aku!"

Zein pun menoleh, lalu memberi senyum yang lahir karena sedikit dipaksakan kepada ibu angkatnya itu. Cukup sulit menjadi murah senyum pagi ini, karena Tiwi masih hadir menari-nari di benaknya seolah menuntut permintaan maaf darinya.

"Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Tak ingin ikut aku ke kantor?" Pertanyaan Kalina sebenarnya mudah saja jawabannya karena tinggal menuang semua beban di hatinya saja. Tapi ada yang namanya hutang budi atau rasa hormat atau apalah itu namanya, Zein pun memilih menggeleng.

"Rano!" Kalina panggil saja chef kepercayaannya itu, karena tak akan dia dapati apapun dari Zein. "Apa Zein bilang sesuatu padamu?"

Rano menelan ludah terlebih dahulu agar tenggorokannya sedikit basah, barulah tukang masak itu siap menjawab. "Tuan muda hanya gugup, Nyonya. Barangkali dia hanya ingin terus jadi Tuan Muda kedua. Karena tugas memimpin perusahaan itu harusnya tugas Tuan Muda pertama."

Kalina lantas tertawa kecil. "Aku hanya ingin memperkenalkan mu sebagai putra kedua Alatas, Zein. Jangan cemberut begitu."

"Tapi kata Papa, tadi pagi tidak begitu, Bu." Kali ini Zein benar-benar menggerutu. "Harusnya Kak Baim aja yang pulang."

"Lalu kamu?"

"Aku jadi karyawan biasa aja."

"Tapi sepertinya ada hal lain yang sedang kamu sembunyikan. Hilangnya senyum semangat milikmu pagi ini, aku rasa disebabkan oleh hal lain."

Mobil sudah berbelok ke halaman gedung tinggi yang keluarga Alatas kuasai. Zein ingin diam saja, jangan bocorkan apa yang tengah menjadi kegundahannya. Ini belum saatnya bertutur banyak, sebab respon Tiwi pada permintaan maafnya belum dia tahu. Apalagi kemarin, hanya gurat kebencian saja yang tampak pada ibu satu anak itu.

"Tidak ada, Ibu. Aku hanya belum ingin aja ke sini." Jawaban Zein saat mobil sudah berhenti dan Rano tengah memutari mobil untuk membuka pintu untuk Kalina.

"Apa kamu menganggap aku ibumu?" tanya Kalina yang tak juga turun meski pintu telah dibuka oleh Rano. Dengan sikap tegap, Rano siap menunggu sampai Kalina bersedia turun. Rupanya itu tak akan terlaksana pada detik ini karena obrolan masih berlanjut.

"Tentu saja." Kali ini Zein tersenyum cukup lebar, dan Kalina yakin Zein tak sedang berkata manis saja. Memang ada rasa hormat yang dibungkus kasih sayang yang dijunjung tinggi untuknya.

"Lain kali cerita tentang kisah di balik senyum masammu tadi di meja makan ya, Zein. Ibu tunggu!"

Memang, meski bukan ibu kandung, Kalina memiliki naluri ibu yang sebenarnya. Bahkan kepada Baim yang sering membuatnya darah tinggi pun demikian. Sikapnya tetap tenang meski dalam ketenangan itu ada gejolak yang dia redam dengan cantiknya. Ada saatnya tenangnya berubah menjadi ketegasan yang tak siapapun berani membantah.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang