Prabu Antasena

2.9K 417 155
                                    

Jam kantor baru dimulai, dan rasanya Aji sudah tak ingin melakukan apapun yang menyangkut pekerjaan. Dia hanya ingin memahami lagi dan lagi apa yang sedang terjadi pada dirinya. Hanya beberapa jam saja dia tahu soal kartu ucapan yang Adinda simpan lima tahun lamanya, rasanya dia terbawa perasaan. Dia merasa istimewa, disayangi, dihargai dan ... dicintai?

Benarkah begitu?

Perasaan yang tak pernah dia dapat dari ibunya sendiri, tapi Adinda telah membuatnya merasakan itu. Dia duda, sudah pernah menikah dan jatuh cinta. Tapi kenapa kali ini rasanya beda?

Rasanya dia ingin menyimpan Adinda dalam saku kemejanya agar bisa memantaunya selalu.

"Ada orang gila baru."

Suara siapa itu? Adalah dia, pria yang tadi pagi pulang dari rumahnya dalam keadaan lapar. Ibrahim Alatas, yang biasa dipanggil dengan sebutan Baim.

Pria bertubuh tinggi itu sudah cengar-cengir di ambang pintu yang memang sejak tadi terbuka. Memantau gerak-gerik sahabatnya yang sedang tak biasa. Senyum itu bukan ekspresi yang berkawan akrab dengan Aji Prabaswara setelah bercerai. Tapi baru saja Baim melihatnya tersungging di bibir sahabatnya itu.

"Aduh!" keluh Baim saat Aji melempar wajahnya dengan pena. "Sial*n!"

"Ngapain sepagi ini udah di sini?"

"Pagi? Lihat! Ini udah setengah sepuluh, ada meeting bentar lagi. Kamu kenapa sih?" Baim telah duduk di kursi berseberangan meja dengan Aji.

"Kenapa apanya?" tanya Aji sembari membuka laptop yang tumben sekali belum dia sentuh sejak datang.

"Terlihat bahagia, gitu. Bagi dong!"

"Apanya yang mesti dibagi?"

"Cewek, 'kan?"

Plak!

"Aduuuuh!" Kepala Baim baru saja dipukul dengan gulungan kertas oleh sahabatnya. "Sakit, bego! Kalo nggak mau bagi kalem aja napa? Nggak usah mukul. Bisa ambyar isi kepala aku yang isinya presentasi buat nanti."

Aji diam. Hatinya tak terima meski Baim belum tahu apa-apa soal Adinda. Tapi perihal keanehannya 'kan memang lantaran wanita yang tadi menemaninya sarapan. Jadi, Baim benar. Cuma mana rela dia membagi Adinda dengan hidung belang di depannya itu.

"Kalo bukan karena kita yang emang ada meeting dengan orang penting, aku usut tuntas kasus ini."

Aji terkekeh geli lalu menghentikan gerakan jemarinya dari keyboard komputer lipat itu. "Tapi aku ingin kamu tahu sesuatu sekarang."

"Ah! Itu terdengar lebih baik. Buruan katakan!"

Dua detik saja, Aji mendapatkan nyalinya. Terlontar lah apa yang memang sedang membahagiakan paginya. "Aku akan menikah."

"Apa?! Coba ulangi!" Baim mendekat dan memasang telinganya baik-baik. Takut melewatkan pengulangan yang sebenarnya tak perlu diulang. Memastikan, itulah tujuannya.

"Aku akan menikah."

"Jiiii!" Baim memegang dada kirinya. Jantungnya ada di sana dan rasanya harus dia amankan agar tak jatuh ke diafragma. "Sama mermaid atau kunti?"

"Bidadari."

"Aji Prabaswara kawan karibku! Ini masih pagi untuk bermimpi."

"Aku serius, Baim. Harusnya kamu kasih aku selamat. Bukannya meragu begitu. Apa aku tak pantas menikah lagi?"

"Sangat pantas meski udah banyak uban. Cuma, kamu yang bilang mau nikah tapi aku yang ketakutan. Siapa sosok di balik keinginan konyolmu ini?"

"Ada lah." Aji kembali fokus pada layar laptopnya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang