Zein sudah menghabiskan semangkok bakso di depannya. Lalu pandangannya beralih pada wajah Aji dengan seksama sambil melap keringat yang mengalir akibat sensasi pedas dari bakso itu. Aji tak makan, hanya segelas es jeruk yang dinikmatinya di warung bakso tak jauh dari sekolah Zein.
Aji membalas tatapan Zein seraya tersenyum. "Udah kenyang?"
"Sudah."
"Sekarang aku sudah bisa tahu jawaban kamu?"
Zein menggaruk pelipis kanannya. Sekedar mengulur waktu agar jawaban yang sedari tadi dicarinya bisa dia dapatkan setelah perutnya kenyang. Namun tidak, dia tetap saja bingung. "Mas Aji, umur berapa?" Zein bertanya ragu.
"Tiga lima. Kenapa kamu nanya umur?"
"Harus itu, Mas. Biar tahu perbedaan umur kita. Apa tidak aneh jika aku mengajari Mas Aji belajar ngaji?"
"Di mana letak anehnya, Zein? Kamu bisa ngaji, sedangkan aku tidak. Bukannya wajar jika yang bisa itu ngajarin yang nggak bisa?"
"Mending bayar ustadz aja deh, Mas. Ilmunya lebih tinggi."
Aji tertawa. Apapun beban yang tadi dia bawa dari kantor telah hilang entah ke mana. Zein adalah obat yang sangat manjur dan menghibur baginya. Sudah dia rasakan kelegaan itu saat dia melihat Zein yang lahap memasukkan bola daging berkuah yang dia tambahkan dua sendok sambal itu. "Nggak mau. Lagi pula, aku memang ingin lebih dekat sama kamu."
Zein menepuk dahinya sendiri, "apa ini karena Kak Dinda?"
"Meski memang ada kaitannya dengan dia, tapi tak sepenuhnya karena dia. Seperti yang aku bilang tadi, aku ingin kamu ngajarin aku ngaji. Biar kamu tahu seberapa payahnya aku ini, tapi punya keinginan melamar kakakmu."
Zein tertegun. Tak habis pikir dengan isi pikiran Aji. Harusnya dia sembunyikan kekurangan itu jika ada mau dengannya. Dia ingin kakaknya, dan keputusan ada di tangannya juga. Selain tak sholat, Zein sekarang 'kan jadi tahu bahwa Aji tak bisa mengaji juga. Benar kata Aji, dia payah.
Zein menghela nafasnya berat, seberat beban yang dipikulnya kini. Dia hanya punya satu saudara perempuan, harapannya adalah kelak Adinda akan menikah dengan pria yang paham agama. Tapi yang melamar dan yang dicintai kakaknya adalah pria yang berbanding terbalik dengan apa yang diinginkannya.
"Serius, Mas Aji nggak bisa ngaji?"
Aji tersedak es jeruk yang baru saja disedotnya dari gelas yang hanya tersisa es batunya saja. Dia tunggu batuknya reda, baru dia akan menjawab tanya anak muda berusia enam belas tahun itu.
Berdehem kecil, Aji pun lantas menjawab. "Dulu pernah ngaji iqro'. Itu pun dulu sekali, waktu masih SD."
"Yaa Salam. Mas yang begini, kenapa Kak Dinda bisa suka, ya?"
"Dia suka? Adinda suka padaku? Ceritakan padaku, Zein." Aji melipat dua tangannya di meja. Seperti anak TK yang siap mendengar nama si paling awal pulang. Aji mendamba dengan seksama.
"Tidak. Nanti dia bisa marah. Sekarang kita bahas Mas Aji aja. Jujur Mas, aku sebagai adiknya ingin Kak Dinda mendapat suami sholeh atau setidaknya sholat di masjid lima kali sehari, syukur-syukur jadi imam kayak Kak Amir."
"Siapa Amir?" Aji mewaspadai satu nama itu sepertinya.
"Tetangga kami, juga teman Kak Dinda. Mereka sama-sama pengurus madin."
"Udah nikah?"
"Belum. Kenapa? Ah, rasa-rasanya dia akan jadi rival Mas Aji deh."
"Dia suka kakakmu?"
"Bisa jadi."
"Ck. Yang penting Adinda sukanya sama aku. Sekarang, balik ke kita. Denger kata Mas Aji ini. Aku punya keinginan menyanding kakakmu. Sedangkan kamu ingin punya kakak ipar yang sholeh. Kenapa tidak kamu mudahkan saja? Jadikan aku seperti yang kamu mau. Mulailah dengan mengajari aku mengaji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomansaAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...