Teman Sekelas

2.8K 388 63
                                    

"Mas Aji kok di rumah?" tanya Putri heran saat melihat kakaknya tengah menyantap cumi asam manis sebagai teman nasi di piringnya. Samara pun sama herannya begitu memasuki ruang makan itu tadi.

Tanpa repot menoleh dan terus mengunyah, telah Aji putuskan untuk tak menjawab pertanyaan adiknya. Putri yang dibuat kesal oleh pria berkemeja putih itu, menggemakan suaranya hingga terdengar sampai ke dapur. "Adinda!"

Aji pun berhenti mengunyah begitu nama si juru masak disebut oleh adiknya. "Kenapa panggil dia?" tanyanya kemudian.

"Biar aku nggak penasaran." Putri menjawab santai sembari menarik sebuah kursi. Dia pun duduk berhadapan dengan Aji. Tak lama setelahnya Adinda datang dengan celemek yang masih menempel di badannya.

"Ada apa, Putri?" Adinda hadir dan seketika menjadi fokus tiga orang majikannya.

"Tadi jadi nganter makan siang, 'kan?" todong Putri.

"Jadi."

"Kenapa Mas Aji makan di rumah lagi?"

"Makanannya dikasih ke satpam sama dia," Aji mengadukan gadis si pengantar makanan. Pria itu sudah selesai dengan acara makannya. Dia menarik satu lembar tissu lalu mengelap mulutnya.

"Benar itu, Dinda?" Samara yang paling penasaran, tapi suaranya teramat lembut kepada si tersangka. Wanita tua itu sudah ikut duduk juga.

"Benar, Nek. Tapi Tuan Aji yang suruh," terang Adinda.

"Benar itu, Aji?" Samara mencari pembenaran dari cucu laki-laki yang wajahnya sudah berubah keruh. Perut kenyang seolah tak meredam kesal yang masih dia tujukan Adinda.

"Iya. Habisnya kesal, tiba-tiba ada dia."

"Aku yang suruh, Mas. Kenapa kesal begitu mukanya? Adinda salah apa coba?"

"Salah dia adalah wajahnya dengan kacamata besar itu muncul di saat yang tepat. Harusnya aku makan siang bersama klien tadi."

"Kenapa makanan yang dibawa Dinda dikasih ke satpam, dan Mas Aji malah makan di rumah? Mas Aji sedang melawak? Padahal dia tadi bawa nasi goreng seafood kesukaan Mas Aji loh."

"Bodo amat!" Aji berdiri, "Aji akan kembali ke kantor, Oma. Mungkin malam ini nggak pulang."

"Ke mana? Kenapa sampai tak pulang?" Samara sudah bisa menebak akan ke mana Aji malam ini. Tapi, semoga dia bisa menggagalkan rencana cucunya yang tak jauh dari pesta, wanita, dan minuman keras itu. "Pulanglah awal."

"Untuk apa?"

"Nanti antarin oma ke suatu tempat."

"Ke mana? Kan ada Parman, atau bisa minta tolong Putri saja."

"Aku jaga malam," sahut Putri dengan cepat.

Badan Aji sudah menghadap sempurna pada Samara, lalu menghembuskan nafas kasar karena wajah neneknya itu terlihat sangat memohon. "Baiklah, Aji akan pulang cepat."

Samara pun tersenyum. "Jam empat sore 'kan, Din?"

"Iya, Nek," Adinda mengangguk di sudut ruangan.

"Kenapa nanya dia? Dia ikut juga?" Tentu saja, pria 35 tahun itu keberatan. Dia masih kesal pada gadis berkacamata. Entah apa sebabnya, hanya dia yang tahu.

Apa kacamata Adinda itu punya salah padanya?

Konyol.

"Oma yang ingin ikut dia, dan kamu yang akan mengantar. Sudah sana, berangkat lah kerja! Kembali ke rumah sebelum jam empat."

Tak ada bantahan lagi, dan si tukang kesal pun hengkang angkat kaki.

***

Sampai di kantor pun keadaan makin membuat mood si tukang kesal memburuk. Baru beberapa langkah memasuki lobby, langkahnya terhenti sebab ada suara familiar yang masuk ke pendengarannya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang