Siapa Dia?

3K 415 47
                                    

Baim mengayun cepat langkahnya di salah satu koridor bangunan tempatnya bekerja. Aji yang tengah cuti telah menghadirkan kesibukan untuknya di luar pekerjaan. Dia bukan orang yang penuh kasih yang bisa menjelaskan sesuatu dengan lembut dan lawan bicaranya tenang dan puas.

"Baim!" Namanya diserukan lagi oleh seseorang yang sangat tidak ingin dilihatnya tapi malah sering muncul di hadapannya. "Baim, berhenti!"

"Duh ... Namanya juga lalat, mana ngerti kalo datangnya dia itu tidak diharapkan." Monolog Baim sebelum akhirnya langkahnya berhenti juga. "Apa?!" tanyanya pada wanita bersepatu hak tinggi yang terus saja mengikutinya dari ruang kerja sahabatnya yang tengah cuti itu.

"Baim, aku serius nanya. Aji di mana?"

"Ya ampun, Mbak. Udah aku bilang berkali-kali kalo dia lagi bulan madu tipis-tipis sama istrinya. Kamu mending berhenti nyari dia. Bukannya kamu juga mau nikah? Masih aja nyari laki orang!"

Kaira berdecak lalu memukul Baim dengan tas selempang harga ratusan juta miliknya. "Jangan bercanda!"

"Kok kamu nggak ketawa kalo aku bercanda? Hah! Aji udah move on dari kamu, Kiara! Jangan cari dia lagi karena dia udah punya bidadari yang mustahil selingkuh kayak istri pertamanya. Bye!"

Baim melangkah lagi dan Kiara meneriakinya lagi. Hingga pria itu akhirnya hilang kesabaran lalu menggeram kesal. Dia keluarkan ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto. "Nih, lihat! Ini Tuan dan Nyonya Aji. Sudah percaya, 'kan? Jangan muncul di hadapannya lagi! Satu lagi. Aku pasang badan buat sahabatku itu, jika kamu punya niat jahat pada keluarganya meski cuma secuil upil."

Wajah Kiara yang memucat dan bibirnya yang tiba-tiba hilang kata membuat Baim menyeringai. Tak ada sedikitpun iba di hatinya karena wanita cantik di depannya ini pernah menjadi sangat jahat dan menghancurkan Aji tanpa ampun.

Kiara pun pergi dengan awan mendung yang menyelimutinya.

Baim yakin, setelah ini Aji akan terganggu kenyamanannya karena Kiara pasti mengadu pada Masayu. "Pasti bakalan rame bentar lagi. Maaf, Ji. Aku bongkar secepat ini. Karena cepat lambat mama kamu akan tahu juga dan pasti bikin kepala kamu pusing. Aku rasanya lebih beruntung, Ji, karena tak punya ibu."

***
Malam ini untuk kesekian kalinya Putri menjadi anak baik buat Masayu. Dengan penampilan yang tak dilebih-lebihkan dia datang ke resto hotel yang sudah diberitahu lokasinya oleh mamanya pagi tadi. Yang katanya untuk perjodohan dirinya dengan seorang cucu dari konglomerat. Sudah pasti pilihan Masayu tak akan jauh-jauh dari yang bertahta dan berharta.

Tapi ada sebuah niat dalam hati yang dia simpan erat di sana. Jika ternyata calonnya jauh dari imam idamannya, dia akan mundur dengan resiko Masayu akan murka. Yang penting niatnya udah benar, yaitu membuat ibunya senang.

Putri tersenyum, karena ternyata Masayu sudah menunggunya di meja yang dia reservasi sebelumnya. Putri tak menunggu, ini sudah awal yang bagus.

"Assalamu'alaikum, Mama." Putri cium tangan dan pipi mulus terawat wanita yang melahirkannya.

Bukannya menjawab salam putrinya, Masayu malah bertanya, "kenapa nggak dandan yang cantik?"

Putri melihat gamis warna mocca yang membungkus cantik tubuhnya, dengan warna kerudung yang senada. "Ini sudah cantik, Ma."

"Harusnya sekali saja, untuk malam ini pakailah pakaian yang tak selebar ini agar cucu Pak Nata terkesan sama kamu."

"Kita lihat nanti saja ya, Mama. Tapi Mama kok sendirian?"

"Sebentar lagi mereka akan datang. Nanti jangan bikin Mama malu ya, buatlah kesan baik biar Reza menerima perjodohan. Ini sangat penting buat Mama."

Putri mengangguk seraya tersenyum lalu menoleh pada dua orang pria yang langsung disambut oleh Masayu dengan manisnya. Mereka pasti orangnya, Nata Bramantyo dan cucunya.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang