Membagi Luka

2.8K 402 108
                                    

Seketika totebag yang dibawa Adinda terlepas saking terkejutnya. Aji benar-benar bisa membuatnya gila. Sekilas mata keduanya bertemu, Aji malah memberinya senyum penuh racun di sana. Adinda jadi gemetar dan rasanya dia kapok datang ke kantor itu.

Sejenak saja, keberadaan Masayu terlupakan oleh dua anak manusia itu. Hingga orang ketiga membuyarkan aroma romansa.

"Aji! Kamu bercanda?" Suara Masayu menggelegar. Adinda buru-buru membungkuk untuk mengambil kembali apa yang sempat jatuh dari tangannya.

"Aji tidak bercanda. Kenapa, Ma? Tidak suka?" tanya Aji lagi-lagi dengan angkuhnya. "Mama bisa ikut sarapan dengan kami. Agar bisa merasakan selezat apa masakan calon istriku ini."

"Omong kosong apa ini, Aji? Mama tahu, kamu masih mencintai Kiara."

"Kata siapa? Mama punya bukti?" Aji mendekatkan wajahnya ke dekat telinga Adinda hingga gadis itu menutup erat matanya karena takut. "Bertahanlah sebentar saja," bisiknya.

Adinda membuka mata saat itu juga lalu mencoba memahami wajah Aji yang sedang menyembunyikan duka. Iya, Adinda akan bertahan. Itulah keputusannya. Lagi-lagi, dia tak tega. Sesayang itu dia pada tuannya.

"Jadi, apa mau Mama? Katakan sekarang. Soal rujuk, itu mustahil. Karena aku sudah memiliki calon istri. Jika ini soal ganti rugi, jangan banyak berharap."

"Aji!"

"Kami mau sarapan. Jika Mama sudah selesai bicara, silahkan pergi."

Ini drama keluarga yang tak patut dicontoh. Seorang anak tak boleh seangkuh itu pada ibunya. Gemas sekali rasanya Adinda ingin mendebat Aji saat ini. Tapi dia siapa?

"Baiklah. Kalo begitu, Kiara akan menikah dengan Raja."

"Silahkan saja nikahkan mereka. Aku tidak peduli lagi pada apapun yang akan kalian lakukan."

Masayu menatap tajam Adinda, mengingatnya lekat-lekat entah untuk tujuan apa dia melakukan hal itu.

"Jangan coba-coba sentuh dia!" Aji memberi peringatan pada ibunya. Barangkali dia bisa melihat ada niat buruk di sana. "Kali ini, aku akan melindungi keluargaku dari ambisi Mama."

Tanpa kata Masayu keluar dari ruangan itu. Hening pun menempati ruang yang hanya diisi dua orang yang saling diam itu.

"Duduklah dulu. Temani aku makan." Aji menunjuk jajaran sofa berwarna abu tua tak jauh dari meja kerjanya setelah mengambil alih totebag yang ada di tangan Adinda. Gadis itu pun menurut tanpa sepatah kata.

Setelahnya, Aji pun membuka kotak makan yang berisi nasi goreng seafood kesukaannya lalu tersenyum. "Kamu tahu aku suka seafood?" tanya Aji tanpa repot menoleh pada lawan bicaranya yang duduk berjauhan dengannya.

"Iya."

"Nyari tahu?"

"Tidak. Tahu sendiri karena Putri pernah bilang tentang itu dulu."

"Tak ingin mencari tahu tentang aku?" Aji mulai menyendok nasi gorengnya sambil menunggu jawaban Adinda.

"Tidak. Rasanya tidak perlu. Buat apa juga?"

"Bukannya, kita akan menikah? Apa tak ingin tahu masa laluku?"

"Masa lalu itu milik anda, Tuan. Anda bisa membaginya jika ingin. Tapi tidak jika saya mencari tahu. Lagi pula, belum tentu Zein akan menerima Tuan. Kenapa menyebut saya calon istri? Makanlah dengan tenang. Jangan pikirkan yang lain dan habiskan isi kotak bekal itu."

Aji pun makan dengan lahap tanpa meninggalkan sisa. Barangkali emosi telah menguras tenaganya, atau karena sejak semalam dia tak makan. Makanya seluruh butir nasi dia pindahkan ke pencernaan.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang