Cinta Di Ujung Rindu 9

270 28 0
                                    

"Kunci mobil ada pada saya, Tuan." Ketika Rano menyusul Zein, dia melihat majikannya itu tengah kebingungan di dekat mobil. Langkahnya kian mendekat lalu membuka pintu untuk sang tuan muda yang wajahnya terlihat menahan tangis. "Masuklah, saya akan antar ke rumah sakit."

Tak menjawab apapun, Zein menurut dan segera menempatkan dirinya di kursi samping kemudi. Tanpa menunggu perintah, Rano segera menyalakan mesin dan membawa mobil itu untuk segera membelah jalanan. Tak seperti kecepatan yang biasanya, juga tak ada obrolan santai seperti biasanya.

"Apa kali ini salahku juga, Chef?" tanya penuh lara dengan semburat warna merah di kedua matanya. Entah apa yang terjadi sebenarnya, tapi Rano tahu, Zein sedang menambah panjang daftar kesalahan yang sebenarnya bukan salahnya.

"Tuan tak punya salah apapun padanya. Berhenti lah bersikap menyedihkan begini."

Tidak bisa. Zein tak bisa bersikap biasa saja saat dia dengar gadis cilik yang kemarin dia gendong dan memanggilnya dengan sebutan ayah, kini sedang tak berdaya dan tengah membutuhkan darahnya. Butuh darah itu tanda gawat, 'kan? Apalagi bila mengingat lagi nada bicara Azzam saat tadi menelepon, pria itu jelas sedang mencemaskan sesuatu terkait Nada.

"Aku pernah mendonorkan darahku dulu ketika di Mesir. Chef, ingat?" Setetes air lancang jatuh di sudut matanya.

Rano mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tapi masih bisa mendengar tanya itu dengan baik. "Iya. Ketika temanmu kecelakaan."

Zein remas rambutnya hingga tatanannya jadi berantakan. "Nada, Chef. Saat ini Nada yang sedang butuh darahku. Apa dia separah Nizam?"

"Kita akan tahu nanti. Tapi, dari sekarang, jangan menganggap dirimu salah."

Punggung Zein merosot, tangannya mengusap pipinya dengan kasar. "Tiwi terpaksa bekerja, dan meninggalkan Nada di rumah sendirian. Chef bisa bayangin itu? Nada baru seumuran Hawa. Yaa Allah, izinkan Nada tetap hidup. Hamba ingin menebus semua luka ibunya, agar anak itu bisa bahagia sebagaimana anak seusianya."

"Aamiin." Rano mengaminkan doa itu sambil menerobos lampu merah. Tak apa jika nanti akan ada sanksi atas perbuatannya itu. Ini soal nyawa gadis cilik yang mulai disayangi oleh tuan mudanya.

***

"Ini orangnya, Suster." Azzam begitu saja menangkap bahu Zein lalu menyodorkan pada perawat, begitu tadi wajah temannya itu dia lihat. Zein pun tak protes dan ikut saja ke mana dia akan dibawa.

"Di mana Tiwi?" tanya Rano pada Azzam. Karena wanita itu tak tampak di ruang tunggu itu.

"Dia ikut dirawat karena terus menerus pingsan. Ketika mendengar bank darah sedang tak memiliki persediaan darah yang putrinya butuhkan, dia tak memiliki daya sekedar untuk berdiri. Padahal aku sudah bilang, bahwa Zein akan datang dan akan mendonorkan darahnya untuk Nada." Azzam terlihat tengah menghela nafasnya dalam-dalam lalu dia hembuskan kasar. Dia pikir hal itu terjadi pada Tiwi karena naluri seorang ibu yang cemas akan keselamatan putrinya. "Mungkin Tiwi takut kehilangan satu-satunya keluarga yang dia punya. Selama ini aku tak melihat anggota keluarganya yang lain selain Nada."

Di kursi tunggu itu Rano dan Azzam terdiam dengan pergolakan batin masing-masing. Rano tahu lebih banyak dari yang Azzam tahu, tapi tak ingin membagi apapun. Dia pun sebenarnya ingat pesan dari Kalina agar segera menghubunginya, tapi sekedar mengambil ponsel di saku kemejanya pun dia enggan. Hari ini mungkin dia akan menerima banyak sanksi karena terus melanggar.

"Pak, aku harus kembali ke konveksi dulu. Ada beberapa pekerjaan yang tadi aku tinggalkan. Nanti setelah jam kerja, aku akan ke sini lagi." Azzam pamit undur diri dan Rano tak merespon selain dengan anggukan kepalanya.

Mungkin Rano akan sendirian di sana untuk beberapa jam ke depan karena Zein akan melewati proses transfusi darah cukup lama. Diam-diam di dalam saku celananya kedua tangannya mengepal erat. Ada kilasan memori yang menari-nari di kepalanya seolah tengah menghujam hatinya dengan pisau tak kasat mata.

Filosofi Sepatu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang