Tangan Aji berhenti, lalu menurunkan ponsel baru untuk Adinda yang akan dia setting agar bisa istrinya gunakan segera. Matanya menatap heran pada wanita yang mengenakan daster berwarna pink motif polkadot putih di depannya. "Sebegitu inginnya ya, punya ponsel lagi?" Itulah yang Aji baca dari tatapan lucu istrinya saat ini.
Tanpa menunggu, Adinda mengangguk mantap. "Pasti banyak pesan yang masuk," tukasnya.
Bukannya segera dia wujudkan apa keinginan istrinya, Aji malah melipat kedua tangan di atas perutnya. "Pesan dari siapa?"
"Ya, nggak tahu. Kan masih mati itu ponselnya. Buruan nyalain, Mas." Adinda memohon. Dia tadi sudah melihat Aji memasukkan SIM card ke dalam benda mahal itu. Apa akan ada pesanan kue atau pembeli bukunya? Adinda dan rasa penasarannya sedang berteman akrab.
Keduanya kini tengah duduk bersila berhadapan di ranjang luas milik Aji. Malam kian larut, meski baru saja dapat amukan dari Masayu, tapi seolah tak berbekas apa-apa pada ekspresi dan suasana hati dari keduanya.
"Oke. Aku malah jadi penasaran, kiranya pesan dari siapa itu." Aji pun meneruskan niat awalnya. Tapi lagi-lagi dia tunda karena lingkaran hitam di sekitar mata istrinya. "Apa kamu tak lelah?"
"Sangat."
"Kalo begitu berbaringlah seraya menunggu. Ini akan cukup lama sampai semua siap kamu pakai karena beberapa aplikasi harus diunduh lebih dulu."
"Aku takut ketiduran. Mas Aji 'kan nggak tahu, aplikasi apa saja yang aku inginkan."
"Katakan saja dari sekarang. Aku akan mengingatnya. Kamu kemari, berbaringlah!" Aji meluruskan kakinya, lalu menepuk bantal di sampingnya.
Adinda pikir itu saran yang bagus. Dia benar sangat lelah dan cukup mengantuk. Segera dia posisikan tubuhnya berbaring miring menghadap Aji.
Aji jeda lagi kegiatannya, karena mengusap surai panjang Adinda lalu memberinya satu kecupan di kening. "Maaf telah membuat kamu lelah. Juga, maaf buat kejadian tadi. Soal Mama."
Senyum adalah jawaban Adinda sebelum banyak kalimat yang akan dia sampaikan untuk mewakili apa yang hatinya rasakan sekarang. "Mas Aji yang sakit, kenapa malah minta maaf ke aku?"
"Hal seperti tadi, mungkin baru untukmu. Akan sering kamu jumpai Mama yang meledak-ledak begitu."
"Apa Mama sejenis bahan peledak? Mas Aji berlebihan."
Aji malah terkekeh. "Dia hanya pemarah dan jarang senyum padaku. Kelak, jangan jadi ibu yang seperti Mama untuk anak kita, ya."
Adinda malah terpejam, tapi pipinya merona. "Semoga saja. Doakan lah, istri kamu ini. Wanita kesal suka nggak tahu waktu. Tahu-tahu akan marah dan kesal meski tanpa sebab."
"Lalu apa yang harus aku lakukan jika kamu sedang begitu?"
"Cukup dengarkan saja. Nanti akan baik sendiri."
"Apa tidak bisa diganti dengan kecupan atau pelukan? Rasanya itu lebih baik daripada diam saja."
Mata Adinda terbuka lagi. "Ini kenapa malah bahas itu? Orang tadi bahas soal Mama. Mending lanjutin setting ponsel itu, karena aku penasaran berapa jumlah pesan yang masuk."
Aji malah mencubit gemas hidung kecil istrinya. "Awas aja, jika ada pesan dari seorang pria!"
Adinda meringis lalu berbicara dengan suara sengau. "Awas apa? Mau dimasukin ke dalam sup panas lagi?"
Aji lepas tangannya dari sang istri seraya tertawa kala ingatannya menjelajah ke kejadian serupa. Dia sempat lupa, bahwa penyebab ponsel Adinda rusak adalah sifat kekanakan dirinya. "Makanya jangan ngeselin! Jangan pernah mengabaikanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...