Sudah sebulan berlalu, dan semua terlihat berbeda dari sebelumnya. Namun terasa lebih baik. Aji benar mewujudkan perkataannya, tentang Masayu yang akan tinggal bersamanya. Tak banyak berubah, keadaan ibunya masih jauh jika dibilang normal.
"Kali ini kamu harus setuju, Sayang," ucap Aji seraya mengaduk susu untuk istrinya yang tengah mengiris kue. Cairan berwarna coklat tua itu lalu dia bawa mendekat pada Adinda, "minumlah!"
"Soal usul Mas itu, terkesan maksa."
"Aku nggak maksa. Ini demi kebaikan bersama. Terutama kamu. Aku tak ingin kamu kelelahan." Aji yang gemas, memeluk istrinya dari belakang. Sontak tangan Adinda pun berhenti mengiris kue hasil buatannya. Kue-kue hasil olahannya sangat disukai oleh ibu mertuanya.
Itu sangat Adinda syukuri. Bahwa ada bagian dari dirinya yang Masayu sukai pada akhirnya. Meski sikap wanita paruh baya itu tak jauh berbeda.
"Kamu masih aja kayak patung kalo aku peluk begini." Aji terkekeh, karena selalu suka pada respon istrinya itu. Adinda masih mudah lumer tiap kali dia bersikap manis.
"Ini di dapur, Mas. Nanti kalo--"
"Tak ada yang berani masuk jika aku di sini."
"Akunya yang jadi nggak enak sama Mbak Yayuk dan Mbak Rima."
"Kenapa Nyonya rumah malah yang nggak enak? Lagian cuma peluk doang. Wajar, kamu istriku."
"Iya, Tuan." Adinda mengalah, "tapi lepaskan dulu ini. Karena nyonya mau pegang pisau. Jangan sampai tangan Tuan yang teriris."
Aji tergelak, tapi tak mau menuruti Adinda begitu saja hingga kecupan-kecupan dia berikan di kepala berbalut kerudung hitam itu. "Minum susu kamu dulu, selagi hangat. Duduk sini." Sebuah kursi telah Aji tarik agar Adinda bisa mengistirahatkan tubuhnya yang akhir-akhir ini disibukkan untuk mengurus Masayu.
Selain menurut, tak ada pilihan lain bagi penulis novel itu. Gelas susu pun dia raih lalu menenggak isinya.
"Setuju, ya? Kita akan pakai perawat," tutur Aji dengan lembut. "Aku tahu kamu sangat lelah, Sayang." Pria itu berjongkok di hadapan istrinya seraya mengusap jemari kiri wanitanya. "Kamu melayaniku juga merawat Mama. Bahkan mengurus segala keperluan Zein, Oma juga Putri dan rumah ini."
"Tapi aku nggak keberatan, Mas."
"Iya, aku tahu. Bahkan keluhan pun tak pernah aku dengar. Kamu senang hati melakukan semua itu. Tapi kamu lupa bahwa kamu juga harus diperhatikan. Sekarang kamu jarang minum susu, 'kan? Jarang nulis, bahkan tak ke madin lagi."
Perkataan Aji benar, jadi Adinda tak mendebat dan memilih diam serta mendengar dengan seksama.
"Kalo kecapekan terus, dede bayinya susah buat ada," kata Aji yang sukses membuat pipi istrinya merona.
"Kenapa bahasnya jadi itu?"
Terkekeh geli, Aji usap perut rata Adinda. "Loh, siapa yang kemarin bilang mau punya empat anak?"
"Mas Aji."
"Oh, iyakah?" jawab Aji yang berlagak lupa. "Pokoknya, mulai besok ada dua perawat yang akan bantuin kamu ngurus Mama. Ini ikhtiar aku supaya cepat jadi ayah." Tatapan mereka pun bertemu saat Aji mendongak sambil memeluk perut istrinya. "Nanti kanda keburu tua, Adindaku."
Tawa Adinda malah tercipta dan terdengar menyenangkan di telinga Aji. "Kenapa sih?" tanya Aji penasaran. Yah, meski dia juga bisa menebak alasan dari tawa istrinya itu. Adalah kata tua yang baru saja dikatakannya.
Setelah tawanya mereda, Adinda siap menjawab tanya yang terdengar menggerutu tadi. "Biasanya menolak dibilang tua ini malah ngaku. Iya baiklah, aku akan rajin minum susu lagi. Juga, pakai perawat seperti yang Mas Aji mau. Senang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...