Zein sadar betul kenapa pagi ini dia terbangun di kamar inap rumah sakit, dengan rasa sakit hampir di seluruh badan. Tapi dia masih tak mengerti, kenapa Baim masih saja enggan menghubungi kakaknya perihal keadaannya yang babak belur akibat dikeroyok orang itu.
"Kak Baim udah mandi, 'kan? Kapan telfon Kak Dinda? Dia pasti cemas." Zein tak ingin menunggu lebih lama begitu Baim keluar dari kamar mandi, dia menagih janji pria itu. Andai ponselnya tak habis baterai, sudah sejak pagi dia hubungi Adinda.
"Belum. Aku nggak jadi mandi, tapi cuci muka." Baim menjawab lalu terkekeh geli. Bukan karena Zein, tapi karena tingkahnya sendiri. "Ceritakan dulu padaku alasan di balik wajahmu yang babak belur begitu. Semalam kamu pulas tidur, jadi sudah semalaman aku tahan rasa penasaranku ini." Pria yang wajahnya basah itu duduk di kursi dekat brankar, lalu melipat kedua tangannya.
"Tapi abis itu kabari Kak Dinda, ya?"
"Tentu. Mungkin Aji sekarang juga sedang mencarimu, dan aku. Ponsel kita jadi sasaran betapa tak sabarannya dia."
"Tuh, 'kan? Kak Dinda pasti cemas juga. Kak Baim kenapa bisa sengesilin itu sih?"
Baim menikmati ini, rasanya dia terus ingin mengukir senyum. "Aku sudah biasa begini dengan Aji. Itulah seninya bersahabat dengannya. Ceritalah dulu, baru aku kabari kakakmu."
Zein menghembuskan nafas lelah, lalu dia putuskan untuk membuka kisah. Meski dengan resiko kakaknya akan tahu bahwa dia tak nyaman dengan lingkungan sekolahnya. "Dua hari lalu aku nemu obat yang tak sengaja jatuh dari tas temanku di toilet. Awalnya aku pikir itu obat sakit kepala atau apa. Tapi kemarin aku dengar dia ribut sama pacarnya di sudut perpustakaan perihal obat yang hilang itu. Aku terkejut dan menjatuhkan buku yang aku bawa. Ketahuan lah aku sama mereka."
"Makanya jangan nguping!"
"Bukan begitu, Kak. Mereka yang salah pilih tempat ngobrol. Perpus 'kan memang buat pinjam dan baca buku. Apa aku salah berada di sana?"
Baim tertawa kecil, "memangnya obat apa yang mereka ributin?"
"Jelasnya obat apa aku nggak paham. Tapi katanya obat itu bisa untuk menggugurkan janin."
Baim terkejut hingga nyaris terjatuh dari kursi. "Anak SMA udah begitu jahat?!" tanyanya syok.
"Jahat kenapa? Karena mukulin aku?"
"Ck! Kamu nggak paham? Udah sebabak belur gini tapi masih nggak paham? Begini yang kamu bilang juara umum?"
"Apa hubungannya dengan prestasiku? Temanku itu kesal karena aku nguping. Jadi semalam dia nelfon dan menyuruhku datang ke taman."
"Terus dijadiin perkedel gini? Jangan lugu-lugu banget lah Zein. Sebelum mukulin kamu, dia ngomong apa?"
"Dia mikir aku sudah lapor pada guru. Makanya dia kesal dan bawa teman-temannya, katanya buat ngasih aku pelajaran."
Pria dewasa di samping Zein itu tertawa keras pada akhirnya. Dia pikir Zein sedang menggerutu tapi tak paham benar dengan apa yang tengah terjadi padanya. "Baiklah. Menurut kamu, siapa yang harus aku hubungi? Aji atau kakakmu?"
***
Di balik kaca jendela mobil, Adinda perhatikan seksama deretan berjenis-jenis bangunan yang dilewatinya. Dengan perasaan yang sungguh sangat tak enak, bahkan rasanya sampai mau menangis. Tapi seolah air matanya enggan turun agar pipinya tak basah. Barangkali malu sama Parman, si sopir keluarga yang bertugas mengantarkannya.
Dia menarik nafas dalam yang sudah tak terhitung jumlahnya sejak keluar dari kantor suaminya tadi, tapi hatinya tetap tak santai. Sulit sekali rasanya mengatur nafas, apalagi detak jantungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...