Delapan tahun berlalu tanpa sekali pun bertemu, harusnya Zein canggung atau setidaknya hilang kata karena tak tahu harus mengangkat topik apa. Apalagi Tiwi tak ada ramah-ramahnya. Tapi justru dia malah ingin terus bertanya. Jika dia sedang bertanya dan wanita itu memilih diam dengan raut wajah marah yang tak ada kadar turunnya, maka Nada lah sasaran Zein untuk bertukar kata.
"Nada, mulai sekarang kita berteman, ya!" Zein bertanya riang pada Nada yang tak berhenti kagum begitu masuk mobil yang saat ini tengah Zein kendarai. "Kamu sepertinya lebih bisa bersikap dewasa daripada ibumu itu."
Nada dan Tiwi akhirnya mau masuk mobil dan memilih untuk duduk di kursi belakang, setelah adu kata yang amat sengit antara Zein dan Tiwi. Zein yang terus memaksa, dan Tiwi yang dengan keras menolak. Akhirnya Nada yang mulai menangis menghentikan pertengkaran itu.
Bocah yang menginjak usia delapan tahun itu kini memandangi ibunya sebelum menjawab ajakan Zein untuk berteman. "Nad nggak berani. Ibu marah deh kayaknya."
"Makanya kita berteman, biar bisa sambil bujuk Ibu biar nggak marah lagi."
"Memang ada masalah apa sih kalian ini?" tanya Nada dengan gerutuan. "Udah gede, tapi masih berantem." Nada masih mengagumi mobil warna hitam itu. Menyamankan duduknya lalu menggoyangkan kedua kakinya ke depan belakang sambil meraba permukaan kursi yang dibalut bahan kulit. "Waaaah ... Mobil emm---- aku harus panggil kamu apa?"
Zein terkekeh. "Terserah Nada. Sukanya panggil apa."
Bibir mungil itu mencebik seraya berpikir, "boleh tidak Nad panggil kamu, a---"
"Nada!" Sentakan dari Tiwi langsung membungkam mulut gadis cilik itu. Gadis itu tertunduk seketika.
"Maaf, Ibu." Raut wajah Nada berubah sedih dan matanya mengembun lagi. Dia merasa hari ini ibunya bertindak jahat padanya, karena dia berkali-kali dibentak.
Zein melihat itu dari kaca spion depan, dia pun jadi tertular sedih. "Biarkan, Wi. Yang sedang ada masalah itu aku sama kamu. Kenapa dari tadi kamu bentak dia? Misal dia ingin manggil aku 'ayah', aku sama sekali tak keberatan. Kenapa kamu yang marah? Ini antara aku dan Nada."
"Jangan masuk ke dalam hidup kami!"
"Kenapa? Mau bilang kalo kamu benci sama aku lagi? Silahkan benci! Tapi aku juga punya keinginan. Aku biarkan kamu dengan kebencianmu, dan biarkan aku dengan keinginanku."
"Gila!"
Zein tertawa. Kenapa respon Tiwi bisa seperti Baim? Apa semua orang yang mengetahui keinginannya ini, maka akan menyebutnya gila juga?
"Nah, Nada. Kita sudah sampai! Kita akan makan es krim sepuasnya di sini." Zein turun lebih dulu, lalu menuju pintu tepat di belakang kemudinya. Dia membuka pintu untuk Nada yang masih diam di tempatnya. "Kenapa, Nada?" tanya Zein lembut. "Jangan takut sama Ibu. Dia itu baik, hanya sedang kesal saja. Mungkin dia terlalu rindu sama Ayah, karena lama tidak bertemu."
Rasanya Zein ingin tertawa dengan kalimatnya sendiri. Tapi sudahlah, dari awal sudah dicap gila. Kenapa tak sekalian saja?
"Ayo!" Zein gendong tubuh mungil Nada lalu menutup pintu. Dia lalu mengitari mobilnya untuk gantian membukakan pintu buat Tiwi. "Turun lah ibunya Nada! Jangan membuat Nada sedih karena ego. Turun dulu, marah lagi nanti nggak apa-apa. Aku siap mendengarkan."
Tiwi tetap diam, hingga Nada merengek minta turun dari gendongan Zein. "Ibu, Nad akan nurut jika Ibu minta kita pulang saja. Nggak apa-apa nggak jadi makan es krim, asal Ibu mau senyum lagi sama Nad."
Ternyata hati Tiwi tidak sebatu itu, dia akhirnya turun dan mengikuti langkah kaki Nada yang menuntunnya masuk ke kedai es krim. Yang kata Nada lagi viral dan semua teman di kelasnya sudah pernah jajan es krim di situ.
KAMU SEDANG MEMBACA
Filosofi Sepatu
RomanceAji Prabaswara adalah seorang duda yang berteman baik dengan alkohol. Hidupnya liar dan tak ingin menikah lagi. Suatu hari, datang tukang masak baru di rumah besarnya yang dipekerjakan oleh neneknya. Wanita cadel dan berkacamata besar bernama Adinda...